Monday, October 29, 2012

Masyarakat Kesenian Batak Toba





Masyarakat Batak Toba adalah salah satu etnis yang terdapat di Sumatera Utara. Etnis Batak Toba termasuk dalam Sub Etnis Batak, yang diantaranya adalah, Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Mandailing, Angkola[1]. Etnis Batak Toba memiliki budaya yang diwariskan dari leluhurnya secara turun-temurun. Salah satu bentuk dari kebudayaan itu adalah kesenian. Kesenian pada Etnis Batak Toba sangat banyak, diantaranya adalah seni tekstil, seni tari, seni ukir, seni patung dan juga seni musik.
ULOS
Salah satu cirri masyarakat batak toba disamping mempunyai nama diri selalu mengikut aertakan marga, dalam hal ini marga adalah nama garis keturunan yang diambil dari pihak ayah atau bersifat patrilineal. Napitupulu (1964:8) menerengakan bahwa turunan dari satu leluhur menurut garis keturunan pihak ayah, berdiam disatu tempat membentuk sebuah ikatan marga. Mereka saling mengenal dan erat bergaul, yang satu memperlakukan yang lain sebagai saudara kandung.
Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang "liar yang musyrik" dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar.
Bila diperhatikan lebih dalam khususnya terjadinya marga dalam masyarakat batak toba merupakan satu hal yang sangat kompleks, karena erat sekali dengan hubungannya antara mitos dan sejarah penyebaran masyarakat batak toba itu sendiri. Setiap individu masyarakat batak toba merupakan keturunan Si Raja Batak, seperti tercermin dalam tulisan Napitupulu(1964:84)
Dewa Mulajadi na Bolon mengirim putrinya Si Boru Nadeak Parujar turun ke bumi. Ia kawin dengan Dewa odap-odap dan melahirkan anak manusia, satu lelaki Si Raja Ihat Manisia dan satu perempuan Si Boru Ihat Manisia. Mereka berdua walau bersaudara kawin dan lahirlah  beberapa anaknya, Salah seorang puteranya bernama Si Raja Batak, yang menjadi leluhur seluruh suku batak. Kampung kediamannya bernama sianjur mula-mula dekat kaki gunung pusuk buhit di sebelah barat pulau samosir. Setelah Siraja batak meninggal, arwahnya menetap di atas gunung Pusuk Buhit.
Siraja Batak mempunyai dua putera, yang sulung bernama guru tatea bulan dan adiknya Raja Isumbaon. Si Guru Tatea Bulan ahli dalam ilmu sihir dan Raja Isombaon, ahli dalam Ilmu hukum adat. Guru Tatea Bulan mempunyai lima putera dan empat puteri. Kelima puteranya adalah : (1) Raja Biak-biak, (2) Tuan Saribu Raja, (3) Limbong Mulana, (4) Sagala Raja dan (5) Silau Raja (malau Raja). Keempat puterinya adalah (1) Siboru Paromas, (2) Siboru Pareme (3) Siboru Binding Laut dan (4) Nan Tino. Raja Isombaon memiliki tiga orang putera, yaitu (1) Sorimangaraja, (2) Raja Asiasi, (3) Sangkar Somalidang.
Sebagai satu kesatuan etnis, orang-orang batak toba mendiami satu daerah kebudayaan/ culture area yang disebut Batak Toba. Menurut Vergouwen (1964:119-141), Masyarakat batak toba mengenal beberapa tempat yaitu:
1.      Kampung, Lapangan empat persegi dengan halaman yang bagus ditengah-tengahnya
2.      Huta,”Republik” kecil yang diperintah seorang raja
3.      Onan, Daerah pasar, sebagai satu kesatuan ekonomi
4.      Homban, mata air
5.      Huta parserahan, kampung induk dan lain-lain

Masyarakat Batak memiliki falsafah atau azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni Tungku nan Tiga atau dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu, yakni Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru.
Hula-hula adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak). Sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
Dongan Tubu disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya “lahir dari perut yang sama”. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya terkadang saling “gesek”. Namun pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai “parhobas” atau pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun burfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan dengan elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak Toba pasti pernah menjadi Hula-hula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual. Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak Toba bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak Toba. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu dan Raja ni Boru.
Pada masyarakat batak toba peranan marga merupakan satu hal yang sangat peting. Sedemikian pentingnya sehingga dalam kehidupan sehari-hari terutama pada saat perkenalan terlebih dahulu menyebutkan marga. Sejauh ini belum ada orang batak tanpa marga. Melalui marga orang batak toba tahu mencari hubungan kekerabatan. Contoh penulis juga orang batak toba marga saya situmeang nomor 16. Jadi bila saya bertemu dengan marga situmeang nomor lima belas saya akan memanggilnya Bapa Tua atau Uda walaupun dia masih lebih muda dari saya karena dia situmeang keturunan ke 15 sedangkan saya situmeang keturunan ke 16. Contoh lainnya, jika saya bertemu dengan perempuan boru situmeang, lumbanggaol, atau Siahaan Sian hinalang saya tidak bisa menikah dengannya karena mereka adalah ito[2] saya. Hal tersebutlah yang merupakan aspek mendasar dalam Dalihan Na Tolu.


Agama dan Kepercayaan

Sebelum suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:
1.      Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon  yang menawannya.
2.      Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
3.      Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Disamping aliran kepercayaan (agama suku) tersebut di atas, terdapat juga dua agama besar yang berpengaruh dan dianut oleh masyarakat Batak khususnya Batak Toba, yaitu Kristen Protestan dan Islam. Religi pada masyarakat toba sebelum memeluk agama Kristen dan islam dan masih ada pengikutnya sampai saat ini adalah Parmalim, Parbaringin, dan Parhudam-hudam.Religi-Religi ini sering pula disebut agama Si Raja Na Batak, karena religi ini diyakini oleh sebagian besar orang batak toba , dianut oleh Si Singa MangaRaja XII. Mengikut Batara Sangti didirikanya religi-religi tersebut adalah sengaja diperintahkan oleh Si Singa MangaRaja XII, sebagai gerakan keagamaan dan politik, yaitu parmalin dan sebagai bentuk gerakan ekstrimis berani mati yaitu parhudam-hudam. Selepas perang lumbang gorat balige pada tahun 1883 seorang kepercayaan Si Singa MangaRaja XII yang bernama guru somalaing pardede ditugaskan memprkuat pertahanan diwilayah Habinsaran, terutama untuk membendung pengaruh agama Kristen dan membentuk sebuah agama baru yang disebut parmalin(batara sangti 1977:79). Menurut Horsting, Parmalim adalah ajaran agama yamg didalamnya terdapat unsure-unsur agama Kristen dan islam dan tidak meninggalkan kepercayaan Batak Toba Tua.
  
Masuknya agama islam ke tanah Batak adalah sebagai berikut, Dalam kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang "liar yang musyrik" dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan perkawinan dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak. Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Protestan. Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo, Pakpak, dan Dairi.[3]
Jadi dapat disimpulkan pengaruh islam tidak begitu besar bagi masyarakat Batak Toba, karena agama ini hanya berpengaruh kuat di daerah Madailing, Karo, Pak-pak dan Dairi. Sedangkan masuknya agama Kristen Protestan di tanah Batak terjadi sekitar tahun 1824. Dimulai oleh misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward Kedua pendeta ini mencoba memperkenalkan Injil dikawasan Silindung (tarutung). Namun Kehadiran mereka tidak diterima oleh masyarakat batak toba.  
Kemudian tahun 1834 Kongsi Zending Boston Amerika Serikat mengirimkan dua orangpendeta yaitu Munson dan Lymann. Kedua missionaries ini dibunuh oleh penduduk dibawah pimpinan Raja Panggalemei di lobu piningpada bulan juli 1834. 15 tahun kemudian pada tahun 1849 kongsi bible Nederland mengirim ahli bahasa Dr. H.N. Van Der Tuuk untuk menyelidiki budaya batak. Ia menyusun kamus Batak –Belanda , dan menyalin sebagian isi alkitab ke bahasa batak. Tujuan utamanya adalah merintis penginjilan keanah batak melalui budaya. Tahun 1959, jemaat Ermelo Belanda dipimpin oleh Ds. Witeveen mengirim pendeta muda G.van Asselt ke tapanuli selatan. Ia tinggal di sipirok sambil bekerja di perkebunan belanda. Kemudian disusul oleh pendeta  Rheinische Mission Gesellscahft (RMG), pada masa sekarang menjadi Verenigte Evangelische Mission (VEM) dipimpin oleh Dr. Fabri. Namun penginjilan berjalan sangat lambat.
Hingga akhirnya seorang Pemuda Jerman yang baru menyelesaikan sekolahnya dan ditahbiskan sebagai pendeta tahun 1861 berniat untuk datang ke tanah batak setelah mendengar cerita tentang bangsa batak.
Ia lalu pergi ke belanda untuk mempelajari tentang bangsa batak dan kemudian berangkat dari Amsterdam ke sumatera dengan kapal pertinar. Tahun 1862, 14 Mei Setelah mengalami banyak cobaan di lautan, Ingwer Ludwig Nommensen mendarat di Padang. Tahun1863,November Ingwer Ludwig Nommensen pertama kali mengunjungi Lembah Silindung. Dia berdoa di Bukit Siatas Barita, di sekitar Salib Kasih yang sekarang.
“Tuhan, hidup atau mati saya akan bersama bangsa ini untuk memberitakan FirmanMu dan KerajaanMu,Amin!”
SALIB KASIH BUKIT TEMPAT OMPU NOMMENSEN PERTAMA KALI BERDOA
 
Tahun1864,Mei Ingwer Ludwig Nommensen diijinkan memulai misinya ke Silindung, sebuah lembah yang indah dan banyak penduduknya. Juli Tahun 1864, Ingwer Ludwig Nommensen membangun rumahnya yang sangat sederhana di Saitnihuta setelah mengalami perjuangan yang sangat berat. Tahun1864,30 Juli Ingwer Ludwig Nommensen menjumpai Raja Panggalamei ke Pintubosi, Lobupining. Tahun 1864, 25 September
Ingwer Ludwig Nommensen mau dipersembahkan ke Sombaon Siatas Barita dionan Sitahuru. Ribuan orang datang. Ingwer Ludwig Nommensen akan dibunuh menjadi kurban persembahan. Ingwer Ludwig Nommensen tegar menghadapi tantangan, dia berdoa, angin puting beliung dan hujan deras membubarkan pesta besar tersebut. Ingwer Ludwig Nommensen selamat, sejak itu terbuka jalan akan Firman Tuhan di negeri yang sangat kejam dan buas.
Ingwer Ludwig Nommensen pantas dijuluki “Apostel di Tanah Batak”
Tahun1865,27AgustusPembaptisan pertama di Silindung terhadap empat pasang suami-istri beserta 5 orang anak-anaknya. Diantara keluarga yang dibaptis pertama adalah Si Jamalayu yang diberi nama Johannes dengan istrinya yang dibawa dari Sipirok sebagai pembantu Ingwer Ludwig Nommensen diberi nama Katharina.Tahun1866,16Maret Ingwer Ludwig Nommensen diberkati menjadi suami-isteri dengan tunangannya Karoline di Sibolga. Karoline datang dari Jerman beserta rombongan Pdt. Johansen yang dikirim Kongsi Barmen untuk membantu Ingwer Ludwig Nommensen di Silindung.Tahun 1871 Ingwer Ludwig Nommensen mengalami penyakit disentri yang sangat parah, dia pasrah untuk pergi menghadap Tuhannya tetapi dia tidak rela misinya berhenti begitu saja.Dia dibawa Johansen berobat ke Sidimpuan.

Tahun 1881 Kongsi Barmen menetapkan Ingwer Ludwig Nommensen menjadi Ephorus pertama HKBP,dia digelari ‘Ompu’ Tahun 1887 Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak. [4]

Musik Toba
      Yang paling dikenal masyarakat umum tentang musik toba adalah instrumen Taganing, yang merupakan salah satu dari tiga instrumen drums di dunia yang bisa memainkan melodi. Taganing tersebut berfungsi sebagai pembawa melodi sekaligus ritem. Bila diklasifikasikan berdasarkan teori Curt Sach dan Van Horn Bostel taganing merupakan alat musik membranofon. Taganing tersebut bisa dituning (disetel) dengan memukul bagian samping taganing tersebut. Taganing atau tataganing (single-headed braced drum) merupakan seperangkat gendang yang terdiri  dari enam  buah drum. Masing-masing gendang memiliki nada (frekuensi getaran) yang berbeda.

Seni music dalam masyarakat batak toba dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu Musik Vokal(Ende) dan Musik Instrumentalia (Gondang).
Musik vokal tradisional pembagiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat dilihat dari liriknya. Ben Pasaribu (1986 : 27-28) membuat pembagian terhadap musik vokal tradisional Batak Toba dalam delapan bagian, yaitu :
1.      Ende mandideng, adalah musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak ( lullaby)
2.      Ende sipaingot, adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang akan menikah. Dinyanyikan pada saat senggang pada hari menjelang pernikahan tersebut.
3.      Ende pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo-chorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda-mudi dalam waktu senggang, biasanya malam hari.
4.      Ende tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan saat pengiring tarian hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-lompat dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini dilakukan oleh remaja di alaman (halaman kampung) pada malam terang bulan.
5.      Ende sibaran, adalah musik vokal sebagai cetusan penderitaan yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita tersebut, yang menyanyi di tempat yang sepi.
6.      Ende pasu-pasuan, adalah musik vokal yang berkenaan dengan pemberkatan. Berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari yang maha kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh orang-orang tua kepada keturunannya.
7.      Ende hata, adalah musik vokal yang berupa lirik yang diimbuhi ritem yang disajikan secara monoton, seperti metric speech. Liriknya berupa rangkaian pantun dengan bentuk aabb yang memiliki jumlah suku kata yang sama. Biasanya dimainkan oleh kumpulan kanak-kanak yang dipimpin oleh seorang yang lebih dewasa atau orang tua.
8.      Ende andung, adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang yang telah meninggal dunia, yang disajikan pada saat atau setelah disemayamkan. Dalam ende andung melodinya datang secara spontan sehingga penyanyinya haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan trampil dalam sastra serta menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini.
Demikian juga Hutasoit yang dikutip oleh Ritha Ony (1988 : 13) membagi kategori musik vokal menjadi tiga jenis, yaitu:
1.      Ende namarhadohoan, yaitu musik vokal yang dinyanyikan untuk acara-acara namarhadohoan (resmi).
2.      Ende siriakon, yaitu musik vokal yang dinyanyikan oleh masyarakat Batak Toba dalam kegiatan sehari-hari.
3.      Ende sibaran, yaitu musik vokal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa kesedihan atau dukacita.
Dari beberapa jenis musik vokal tersebut yang sering terdapat di kota Medan adalah jenis ende andung dan ende sibaran, dimana saat terjadi peristiwa dukacita, maka akan ada ada beberapa pihak dari keluarga yang meninggal dunia tersebut yang mengandungi[5] jenazah orang yang meninggal dunia tersebut sebelum dimakamkan.
Musik instrumental ada beberapa instrumen yang lazim digunakan dalam ansambel maupun disajikan dalam permainan tunggal, baik dalam kaitannya dalam upacara adat, religi maupun sebagai hiburan.
Pada masyarakat Batak Toba terdapat dua ansambel musik tradisional, yaitu: ansambel gondang hasapi dan gondang sabangunan. Selain itu ada juga instrument musik tradisional yang digunakan secara tunggal.

Ansambel Gondang Hasapi
Beberapa instrumen yang terdapat dalam ansambel gondang hasapi adalah sebagai berikut:
1.      Hasapi ende (plucked lute dua senar) jenis chordophone yang berfungsi sebagai pembawa melodi, dimainkan dengan cara mamiltik (dipetik).
2.      Hasapi doal (plucked lute dua senar), sama denga hasapi ende, namun hasapi doal berfungsi sebagai pembawa ritem konstan, dan berukuran lebih besar dari hasapi ende.
3.      Sarune etek (shawm), kelompok aerophone yang memiliki reed tunggal (single reed) dimainkan dengan mangombus marsiulak hosa (meniup dengan terusmenerus).[6]
4.      Garantung, kelompok xylophone, pembawa melodi juga sebagai pembawa ritem variabel pada lagu-lagu tertentu. Dimainkan dengan cara dipalu.[7]
5.      Hesek, instrumen idiophone sebagai pembawa tempo (ketukan dasar).

Ansambel Gondang Sabangunan
Beberapa instrumen yang terdapat dalam ansambel gondang sabangunan adalah sebagai berikut:
1.  Taganing, kelompok membranophone, Taganing dimainkan oleh dua orang pemain dengan menggunakan stik pemukul kayu. Gendang yang terbesar ukurannya disebut gordang, dimainkan satu orang. Dalam konteks komposisi musik, gordang berperan sebagai instrumen ritmikal. Sementara lima gendang lainnya, lazim juga disebut  anak ni taganing,adalah instrumen melodik,  dimainkan oleh satu orang dan berperan sebagai pembawa melodi. Kedua instrumen tersebut, gordang dan taganing,  dimainkan dalam satu ensambel musik yang  disebut gondang sabangunan.
2.   Gordang (single headed drum) ini berfungsi sebagai instrumen ritme variabel, yaitu memainkan iringan musik lagu yang bervariasi.
3.      Sarune (shawm) kelompok aerophone yang doble reed berfungsi sebagai alat untuk memainkan melodi lagu yang dibawakan oleh taganing.
4.      Ogung Oloan (pemimpin atau yang harus dituruti) ogung Oloan mempunyai fungsi sebagai instrumen ritme konstan, yaitu memainkan iringan irama lagu dengan model yang tetap. Fungsi ogung oloan ini umumnya sama dengan fungsi ogung ihutan, ogung panggora dan ogung doal dan sedikit sekali perbedaannya. Ogung doal memperdengarkan bunyinya tepat di tengah-tengah dari dua pukulan hesek dan menimbulkan suatu efek synkopis[8] nampaknya merupakan suatu ciri khas dari gondang sabangunan. Fungsi dari ogung panggora ditujukan pada dua bagian. Di satu bagian, ia berbunyi bersamaan dengan tiap pukulan yang kedua, sedang di bagian lain sekali berbunyi bersamaan dengan ogung ihutan dan sekali lagi bersamaan dengan ogung oloan. Oleh karena musik dari gondang sabangunan ini pada umumnya dimainkan dalam tempo yang cepat, maka para penari maupun pendengar hanya berpegang pada bunyi ogung oloan dan ihutan saja. Berdasarkan hal ini, maka ogung oloan yang berbunyi lebih rendah itu berarti “pemimpin” atau “Yang harus di turuti” , sedang ogung ihutan yang berbunyi lebih tinggi, itu “Yang menjawab” atau “Yang menuruti”. Maka dapat disimpulkan bahwa peranan dan fungsi yang berlangsung antara ogung oloan dan ogung ihutan dianggap oleh orang Batak Toba sebagai suatu permainan “tanya jawab”.                                                     
5.      Hesek ini berfungsi menuntun instrumen lain secara bersama-sama dimainkan. Tanpa hesek, permainan musik instrumen akan terasa kurang lengkap. Walaupun bentuk instrumen dan suaranya sederhana saja, namun peranannya penting dan menentukan sebagai pembawa tempo.  
  
Instrumen Tunggal                                                                                   
Instrumen tunggal adalah alat musik yang dimainkan secara tunggal yang terlepas dari ansambel gondang hasapi dan gondang sabangunan. instrumen yang termasuk instrumen tunggal dalam masyarakat Batak Toba antara lain:
1.      Sulim (transverse flute), kelompok aerophone. Dimainkan dengan meniup dari samping (side blown flute), berfungsi membawa melodi
2.      Saga-saga (jew’s harp) klasifikasi idiophone. Dimainkan dengan menggetarkan lidah dan instrumenttersebut di rongga mulut sebagai resonatornya.
3.      Jenggong (jew’s harp) mempunyai konsep yang sama dengan saga-saga, namun materinya berbeda karena terbuat dari logam.
4.      Talatoit (transverse flute), sering juga disebut salohat atau tulila. Dimainkan dengan meniup dari samping. Kelompok aerophone.
5.      Sordam (long flute) terbuat dari bambu, kelompok aerophone, dimainkan dengan ditiup dari ujung (end blown flute).
6.      Tanggeteng, alat musik yang senarnya terbuat dari rotan dan peti kayu sebagai resonatornya.
Dari ketiga jenis seni musik instrumental di atas, yang kerap ditemukan di kota Medan hanyalah ansambel gondang sabangunan, sedangkan ansambel gondang hasapi sudah sangat jarang, namun demikian terdapat juga beberapa pengggabungan antara instrumen tunggal dengan anasambel gondang hasapi yang di kota Medan sering disebut uning-uningan, juga sering digabungkan dengan instrumen musik barat seperti, keyboard, guitar, bass, drum, saxophone, trompet, yang di kota Medan sering disebut brass band atau musik tiup.

BAHASA DAN AKSARA BATAK






[1] Payung Bangun 1980 : 95-142
[2] Panggilan orang batak toba untuk kakak atau saudara perempuan.
[3] www.silabanbrotherhood.com
[4] www.samosirinfo.com
[5] Lihat Ende andung
[6] Circular breathing
[7] Mamalu dapat diartikan dengan memukul atau membunyikan.
[8] Bunyi yang terdengar terhentak atau yang berupa aksentuasi
Simbolon Welly, 2010.Kajian Organologis Garantung Buatan Bapak Junihar Sitohang di Kelurahan Helvetia Timur, Kecamatan Helvetia Kota MedanSkripsi Sarjana S1 Etnomusikologi Fak. Sastra USU, Tidak Diterbitkan
LANJUT....!!