Masyarakat Batak
Toba adalah salah satu etnis yang terdapat di Sumatera Utara. Etnis Batak Toba
termasuk dalam Sub Etnis Batak, yang diantaranya adalah, Karo, Pakpak,
Simalungun, Toba, Mandailing, Angkola[1].
Etnis Batak Toba memiliki budaya yang diwariskan dari leluhurnya secara
turun-temurun. Salah satu bentuk dari kebudayaan itu adalah kesenian. Kesenian
pada Etnis Batak Toba sangat banyak, diantaranya adalah seni tekstil, seni
tari, seni ukir, seni patung dan juga seni musik.
ULOS |
Dalam
kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo melaporkan bahwa masyarakat Batak
sebagai orang-orang "liar yang musyrik"
dan tidak pernah terpengaruh oleh agama-agama dari luar.
Bila
diperhatikan lebih dalam khususnya terjadinya marga dalam masyarakat batak toba
merupakan satu hal yang sangat kompleks, karena erat sekali dengan hubungannya
antara mitos dan sejarah penyebaran masyarakat batak toba itu sendiri. Setiap
individu masyarakat batak toba merupakan keturunan Si Raja Batak, seperti
tercermin dalam tulisan Napitupulu(1964:84)
Dewa
Mulajadi na Bolon mengirim putrinya Si Boru Nadeak Parujar turun ke bumi. Ia
kawin dengan Dewa odap-odap dan melahirkan anak manusia, satu lelaki Si Raja
Ihat Manisia dan satu perempuan Si Boru Ihat Manisia. Mereka berdua walau
bersaudara kawin dan lahirlah beberapa
anaknya, Salah seorang puteranya bernama Si Raja Batak, yang menjadi leluhur
seluruh suku batak. Kampung kediamannya bernama sianjur mula-mula dekat kaki
gunung pusuk buhit di sebelah barat pulau samosir. Setelah Siraja batak
meninggal, arwahnya menetap di atas gunung Pusuk Buhit.
Siraja
Batak mempunyai dua putera, yang sulung bernama guru tatea bulan dan adiknya
Raja Isumbaon. Si Guru Tatea Bulan ahli dalam ilmu sihir dan Raja Isombaon, ahli
dalam Ilmu hukum adat. Guru Tatea Bulan mempunyai lima putera dan empat puteri.
Kelima puteranya adalah : (1) Raja Biak-biak, (2) Tuan Saribu Raja, (3) Limbong
Mulana, (4) Sagala Raja dan (5) Silau Raja (malau Raja). Keempat puterinya adalah
(1) Siboru Paromas, (2) Siboru Pareme (3) Siboru Binding Laut dan (4) Nan Tino.
Raja Isombaon memiliki tiga orang putera, yaitu (1) Sorimangaraja, (2) Raja
Asiasi, (3) Sangkar Somalidang.
Sebagai
satu kesatuan etnis, orang-orang batak toba mendiami satu daerah kebudayaan/ culture area yang disebut Batak Toba.
Menurut Vergouwen (1964:119-141), Masyarakat
batak toba mengenal beberapa tempat yaitu:
1. Kampung, Lapangan empat persegi dengan
halaman yang bagus ditengah-tengahnya
2. Huta,”Republik” kecil yang diperintah
seorang raja
3. Onan, Daerah pasar, sebagai satu
kesatuan ekonomi
4. Homban, mata air
Masyarakat
Batak memiliki falsafah atau azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam
kemasyarakatannya yakni Tungku nan Tiga atau dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu, yakni Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru.
Hula-hula adalah pihak keluarga dari
isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan
dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak). Sehingga kepada semua orang
Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
Dongan Tubu disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki
satu marga. Arti harfiahnya “lahir dari perut yang sama”. Mereka ini seperti
batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking
dekatnya terkadang saling “gesek”. Namun pertikaian tidak membuat hubungan satu
marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati
dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak
(berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga.
Diistilahkan, manat mardongan tubu.
Boru adalah pihak keluarga yang mengambil
isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling
rendah sebagai “parhobas” atau
pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara
adat. Namun walaupun burfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan
dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk,
diistilahkan dengan elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak.
Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu
adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak Toba pasti
pernah menjadi Hula-hula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi
setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual. Sehingga dalam
tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata
kekerabatan Batak Toba bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang
berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak Toba.
Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu dan Raja ni Boru.
Pada masyarakat batak toba peranan marga merupakan satu hal
yang sangat peting. Sedemikian pentingnya sehingga dalam kehidupan sehari-hari
terutama pada saat perkenalan terlebih dahulu menyebutkan marga. Sejauh ini
belum ada orang batak tanpa marga. Melalui marga orang batak toba tahu mencari
hubungan kekerabatan. Contoh penulis juga orang batak toba marga saya situmeang
nomor 16. Jadi bila saya bertemu dengan marga situmeang nomor lima belas saya
akan memanggilnya Bapa Tua atau Uda walaupun dia masih lebih muda dari saya
karena dia situmeang keturunan ke 15 sedangkan saya situmeang keturunan ke 16. Contoh
lainnya, jika saya bertemu dengan perempuan boru situmeang, lumbanggaol, atau
Siahaan Sian hinalang saya tidak bisa menikah dengannya karena mereka adalah
ito[2]
saya. Hal tersebutlah yang merupakan aspek mendasar dalam Dalihan Na Tolu.
Agama dan Kepercayaan
Sebelum suku Batak Toba menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem
kepercayaan dan religi tentang Mulajadi
Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya
terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut
jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:
1. Tondi :
adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia.
Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit
atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap
(menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
2. Sahala :
adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki
sahala. Sahala sama dengan sumanta,
tuah atau kesaktian yang dimiliki
para raja atau hula-hula.
3. Begu :
adalah tondi orang telah meninggal,
yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu
malam.
Disamping
aliran kepercayaan (agama suku) tersebut di atas, terdapat juga dua agama besar
yang berpengaruh dan dianut oleh masyarakat Batak khususnya Batak Toba, yaitu
Kristen Protestan dan Islam. Religi pada masyarakat toba sebelum memeluk agama Kristen
dan islam dan masih ada pengikutnya sampai saat ini adalah Parmalim,
Parbaringin, dan Parhudam-hudam.Religi-Religi ini sering pula disebut agama Si
Raja Na Batak, karena religi ini diyakini oleh sebagian besar orang batak toba
, dianut oleh Si Singa MangaRaja XII. Mengikut Batara Sangti didirikanya religi-religi
tersebut adalah sengaja diperintahkan oleh Si Singa MangaRaja XII, sebagai
gerakan keagamaan dan politik, yaitu parmalin dan sebagai bentuk gerakan
ekstrimis berani mati yaitu parhudam-hudam. Selepas perang lumbang gorat balige
pada tahun 1883 seorang kepercayaan Si Singa MangaRaja XII yang bernama guru
somalaing pardede ditugaskan memprkuat pertahanan diwilayah Habinsaran,
terutama untuk membendung pengaruh agama Kristen dan membentuk sebuah agama
baru yang disebut parmalin(batara sangti 1977:79). Menurut Horsting, Parmalim adalah ajaran agama yamg didalamnya terdapat unsure-unsur
agama Kristen dan islam dan tidak meninggalkan kepercayaan Batak Toba Tua.
Masuknya agama islam ke tanah Batak adalah sebagai berikut, Dalam
kunjungannya pada tahun 1292, Marco Polo
melaporkan bahwa masyarakat Batak sebagai orang-orang "liar yang musyrik" dan tidak pernah
terpengaruh oleh agama-agama dari luar. Meskipun Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada
tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak
pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan
dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan perkawinan
dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatakan pemeluk
Islam di tengah-tengah masyarakat Batak. Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan
Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas
masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas wilayah Toba,
tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka
menganut agama Protestan. Kerajaan Aceh di utara, juga banyak
berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo, Pakpak, dan Dairi.[3]
Jadi dapat disimpulkan pengaruh islam tidak begitu besar bagi
masyarakat Batak Toba, karena agama ini hanya berpengaruh kuat di daerah
Madailing, Karo, Pak-pak dan Dairi. Sedangkan masuknya agama Kristen Protestan
di tanah Batak terjadi sekitar tahun 1824. Dimulai oleh misionaris Baptist asal
Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward Kedua
pendeta ini mencoba memperkenalkan Injil dikawasan Silindung (tarutung). Namun Kehadiran
mereka tidak diterima oleh masyarakat batak toba.
Kemudian tahun 1834 Kongsi Zending Boston Amerika Serikat mengirimkan
dua orangpendeta yaitu Munson dan Lymann. Kedua missionaries ini dibunuh oleh
penduduk dibawah pimpinan Raja Panggalemei di lobu piningpada bulan juli 1834.
15 tahun kemudian pada tahun 1849 kongsi bible Nederland mengirim ahli bahasa Dr.
H.N. Van Der Tuuk untuk menyelidiki budaya batak. Ia menyusun kamus Batak –Belanda
, dan menyalin sebagian isi alkitab ke bahasa batak. Tujuan utamanya adalah
merintis penginjilan keanah batak melalui budaya. Tahun 1959, jemaat Ermelo
Belanda dipimpin oleh Ds. Witeveen mengirim pendeta muda G.van Asselt ke
tapanuli selatan. Ia tinggal di sipirok sambil bekerja di perkebunan belanda.
Kemudian disusul oleh pendeta Rheinische
Mission Gesellscahft (RMG), pada masa sekarang menjadi Verenigte Evangelische
Mission (VEM) dipimpin oleh Dr. Fabri. Namun penginjilan berjalan sangat
lambat.
Hingga akhirnya seorang Pemuda Jerman yang baru menyelesaikan
sekolahnya dan ditahbiskan sebagai pendeta tahun 1861 berniat untuk datang ke
tanah batak setelah mendengar cerita tentang bangsa batak.
Ia lalu pergi ke belanda untuk mempelajari tentang bangsa
batak dan kemudian berangkat dari Amsterdam ke sumatera dengan kapal pertinar. Tahun 1862, 14 Mei Setelah mengalami banyak
cobaan di lautan, Ingwer Ludwig Nommensen mendarat di Padang. Tahun1863,November
Ingwer Ludwig Nommensen pertama kali mengunjungi Lembah Silindung. Dia berdoa
di Bukit Siatas Barita, di sekitar Salib Kasih yang sekarang.
“Tuhan, hidup atau mati saya akan
bersama bangsa ini untuk memberitakan FirmanMu dan KerajaanMu,Amin!”
SALIB KASIH BUKIT TEMPAT OMPU NOMMENSEN PERTAMA KALI BERDOA |
Tahun1864,Mei Ingwer
Ludwig Nommensen diijinkan memulai misinya ke Silindung, sebuah lembah yang indah
dan banyak penduduknya. Juli Tahun 1864, Ingwer Ludwig Nommensen
membangun rumahnya yang sangat sederhana di Saitnihuta setelah mengalami perjuangan
yang sangat berat. Tahun1864,30 Juli Ingwer Ludwig Nommensen
menjumpai Raja Panggalamei ke Pintubosi, Lobupining. Tahun 1864, 25 September
Ingwer Ludwig Nommensen mau dipersembahkan ke Sombaon Siatas Barita dionan Sitahuru. Ribuan orang datang. Ingwer Ludwig Nommensen akan dibunuh menjadi kurban persembahan. Ingwer Ludwig Nommensen tegar menghadapi tantangan, dia berdoa, angin puting beliung dan hujan deras membubarkan pesta besar tersebut. Ingwer Ludwig Nommensen selamat, sejak itu terbuka jalan akan Firman Tuhan di negeri yang sangat kejam dan buas.
Ingwer Ludwig Nommensen mau dipersembahkan ke Sombaon Siatas Barita dionan Sitahuru. Ribuan orang datang. Ingwer Ludwig Nommensen akan dibunuh menjadi kurban persembahan. Ingwer Ludwig Nommensen tegar menghadapi tantangan, dia berdoa, angin puting beliung dan hujan deras membubarkan pesta besar tersebut. Ingwer Ludwig Nommensen selamat, sejak itu terbuka jalan akan Firman Tuhan di negeri yang sangat kejam dan buas.
Ingwer Ludwig Nommensen pantas
dijuluki “Apostel di Tanah Batak”
Tahun1865,27AgustusPembaptisan pertama di Silindung terhadap empat pasang suami-istri beserta 5 orang anak-anaknya. Diantara keluarga yang dibaptis pertama adalah Si Jamalayu yang diberi nama Johannes dengan istrinya yang dibawa dari Sipirok sebagai pembantu Ingwer Ludwig Nommensen diberi nama Katharina.Tahun1866,16Maret Ingwer Ludwig Nommensen diberkati menjadi suami-isteri dengan tunangannya Karoline di Sibolga. Karoline datang dari Jerman beserta rombongan Pdt. Johansen yang dikirim Kongsi Barmen untuk membantu Ingwer Ludwig Nommensen di Silindung.Tahun 1871 Ingwer Ludwig Nommensen mengalami penyakit disentri yang sangat parah, dia pasrah untuk pergi menghadap Tuhannya tetapi dia tidak rela misinya berhenti begitu saja.Dia dibawa Johansen berobat ke Sidimpuan.
Tahun1865,27AgustusPembaptisan pertama di Silindung terhadap empat pasang suami-istri beserta 5 orang anak-anaknya. Diantara keluarga yang dibaptis pertama adalah Si Jamalayu yang diberi nama Johannes dengan istrinya yang dibawa dari Sipirok sebagai pembantu Ingwer Ludwig Nommensen diberi nama Katharina.Tahun1866,16Maret Ingwer Ludwig Nommensen diberkati menjadi suami-isteri dengan tunangannya Karoline di Sibolga. Karoline datang dari Jerman beserta rombongan Pdt. Johansen yang dikirim Kongsi Barmen untuk membantu Ingwer Ludwig Nommensen di Silindung.Tahun 1871 Ingwer Ludwig Nommensen mengalami penyakit disentri yang sangat parah, dia pasrah untuk pergi menghadap Tuhannya tetapi dia tidak rela misinya berhenti begitu saja.Dia dibawa Johansen berobat ke Sidimpuan.
Tahun 1881 Kongsi Barmen menetapkan Ingwer Ludwig Nommensen menjadi Ephorus pertama HKBP,dia digelari ‘Ompu’ Tahun 1887 Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak. [4]
Musik Toba
Yang paling dikenal masyarakat umum tentang musik toba adalah instrumen Taganing, yang merupakan salah satu dari tiga instrumen drums di dunia yang bisa memainkan melodi. Taganing tersebut berfungsi sebagai pembawa melodi sekaligus ritem. Bila diklasifikasikan berdasarkan teori Curt Sach dan Van Horn Bostel taganing merupakan alat musik membranofon. Taganing tersebut bisa dituning (disetel) dengan memukul bagian samping taganing tersebut. Taganing atau tataganing (single-headed braced drum) merupakan seperangkat gendang yang terdiri dari enam buah drum. Masing-masing gendang memiliki nada (frekuensi getaran) yang berbeda.
Yang paling dikenal masyarakat umum tentang musik toba adalah instrumen Taganing, yang merupakan salah satu dari tiga instrumen drums di dunia yang bisa memainkan melodi. Taganing tersebut berfungsi sebagai pembawa melodi sekaligus ritem. Bila diklasifikasikan berdasarkan teori Curt Sach dan Van Horn Bostel taganing merupakan alat musik membranofon. Taganing tersebut bisa dituning (disetel) dengan memukul bagian samping taganing tersebut. Taganing atau tataganing (single-headed braced drum) merupakan seperangkat gendang yang terdiri dari enam buah drum. Masing-masing gendang memiliki nada (frekuensi getaran) yang berbeda.
Seni music dalam masyarakat batak toba dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu Musik Vokal(Ende) dan Musik Instrumentalia (Gondang).
Musik vokal
tradisional pembagiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang
dapat dilihat dari liriknya. Ben Pasaribu (1986 : 27-28) membuat pembagian
terhadap musik vokal tradisional Batak Toba dalam delapan bagian, yaitu :
1.
Ende mandideng, adalah
musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak ( lullaby)
2.
Ende sipaingot,
adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang akan menikah.
Dinyanyikan pada saat senggang pada hari menjelang pernikahan tersebut.
3.
Ende pargaulan,
adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo-chorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda-mudi dalam waktu
senggang, biasanya malam hari.
4.
Ende tumba,
adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan saat pengiring tarian hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari
dengan melompat-lompat dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar.
Biasanya ende tumba ini dilakukan oleh remaja di alaman (halaman
kampung) pada malam terang bulan.
5.
Ende sibaran,
adalah musik vokal sebagai cetusan penderitaan yang berkepanjangan. Penyanyinya
adalah orang yang menderita tersebut, yang menyanyi di tempat yang sepi.
6.
Ende pasu-pasuan,
adalah musik vokal yang berkenaan dengan pemberkatan. Berisi lirik-lirik
tentang kekuasaan yang abadi dari yang maha kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh
orang-orang tua kepada keturunannya.
7.
Ende hata,
adalah musik vokal yang berupa lirik yang diimbuhi ritem yang disajikan secara
monoton, seperti metric speech.
Liriknya berupa rangkaian pantun dengan bentuk aabb yang memiliki jumlah suku
kata yang sama. Biasanya dimainkan oleh kumpulan kanak-kanak yang dipimpin oleh
seorang yang lebih dewasa atau orang tua.
8.
Ende andung,
adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang yang telah
meninggal dunia, yang disajikan pada saat atau setelah disemayamkan. Dalam ende andung melodinya datang secara
spontan sehingga penyanyinya haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan trampil
dalam sastra serta menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting untuk jenis
nyanyian ini.
Demikian juga Hutasoit yang dikutip oleh Ritha Ony (1988 :
13) membagi kategori musik vokal menjadi tiga jenis, yaitu:
1.
Ende
namarhadohoan, yaitu musik vokal yang dinyanyikan untuk acara-acara namarhadohoan (resmi).
2.
Ende siriakon,
yaitu musik vokal yang dinyanyikan oleh masyarakat Batak Toba dalam kegiatan
sehari-hari.
3.
Ende sibaran,
yaitu musik vokal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan berbagai peristiwa
kesedihan atau dukacita.
Dari beberapa jenis musik vokal tersebut yang sering terdapat
di kota Medan
adalah jenis ende andung dan ende sibaran, dimana saat terjadi
peristiwa dukacita, maka akan ada ada beberapa pihak dari keluarga yang meninggal
dunia tersebut yang mengandungi[5]
jenazah orang yang meninggal dunia tersebut sebelum dimakamkan.
Musik instrumental ada beberapa instrumen yang lazim
digunakan dalam ansambel maupun disajikan dalam permainan tunggal, baik dalam
kaitannya dalam upacara adat, religi maupun sebagai hiburan.
Pada masyarakat Batak Toba terdapat dua ansambel musik
tradisional, yaitu: ansambel gondang
hasapi dan gondang sabangunan.
Selain itu ada juga instrument musik tradisional yang digunakan secara tunggal.
Ansambel Gondang Hasapi
Beberapa instrumen yang terdapat dalam ansambel gondang hasapi adalah sebagai berikut:
1.
Hasapi ende (plucked lute dua senar) jenis chordophone yang berfungsi sebagai
pembawa melodi, dimainkan dengan cara mamiltik
(dipetik).
2.
Hasapi doal (plucked lute dua senar), sama denga hasapi ende, namun hasapi doal berfungsi sebagai pembawa ritem konstan, dan berukuran
lebih besar dari hasapi ende.
3.
Sarune etek (shawm), kelompok aerophone yang memiliki reed tunggal (single reed) dimainkan dengan mangombus
marsiulak hosa (meniup dengan terusmenerus).[6]
4.
Garantung,
kelompok xylophone, pembawa melodi
juga sebagai pembawa ritem variabel pada lagu-lagu tertentu. Dimainkan dengan
cara dipalu.[7]
5.
Hesek,
instrumen idiophone sebagai pembawa
tempo (ketukan dasar).
Beberapa instrumen yang terdapat dalam ansambel gondang sabangunan adalah sebagai
berikut:
1. Taganing, kelompok membranophone,
Taganing dimainkan oleh dua orang pemain dengan
menggunakan stik pemukul kayu. Gendang yang terbesar ukurannya disebut gordang, dimainkan satu orang. Dalam
konteks komposisi musik, gordang berperan sebagai instrumen ritmikal. Sementara
lima gendang lainnya, lazim juga disebut
anak ni taganing,adalah
instrumen melodik, dimainkan oleh satu orang dan berperan
sebagai pembawa melodi. Kedua instrumen tersebut, gordang dan taganing, dimainkan dalam satu ensambel musik
yang disebut gondang sabangunan.
3.
Sarune (shawm) kelompok aerophone yang doble reed
berfungsi sebagai alat untuk memainkan melodi lagu yang dibawakan oleh
taganing.
4.
Ogung Oloan (pemimpin atau yang
harus dituruti) ogung Oloan mempunyai fungsi sebagai instrumen ritme konstan,
yaitu memainkan iringan irama lagu dengan model yang tetap. Fungsi ogung oloan ini umumnya sama dengan
fungsi ogung ihutan, ogung panggora dan ogung doal dan sedikit sekali perbedaannya. Ogung doal memperdengarkan bunyinya tepat di tengah-tengah dari dua
pukulan hesek dan menimbulkan suatu
efek synkopis[8]
nampaknya merupakan suatu ciri khas dari gondang sabangunan. Fungsi dari ogung panggora ditujukan pada dua
bagian. Di satu bagian, ia berbunyi bersamaan dengan tiap pukulan yang kedua,
sedang di bagian lain sekali berbunyi bersamaan dengan ogung ihutan dan sekali lagi bersamaan dengan ogung oloan. Oleh
karena musik dari gondang sabangunan ini pada umumnya dimainkan dalam tempo
yang cepat, maka para penari maupun pendengar hanya berpegang pada bunyi ogung
oloan dan ihutan saja. Berdasarkan hal ini, maka ogung oloan yang berbunyi
lebih rendah itu berarti “pemimpin” atau “Yang harus di turuti” , sedang ogung
ihutan yang berbunyi lebih tinggi, itu “Yang menjawab” atau “Yang menuruti”.
Maka dapat disimpulkan bahwa peranan dan fungsi yang berlangsung antara ogung
oloan dan ogung ihutan dianggap oleh orang Batak Toba sebagai suatu permainan
“tanya jawab”.
5.
Hesek ini
berfungsi menuntun instrumen lain secara bersama-sama dimainkan. Tanpa hesek,
permainan musik instrumen akan terasa kurang lengkap. Walaupun bentuk instrumen
dan suaranya sederhana saja, namun peranannya penting dan menentukan sebagai
pembawa tempo.
Instrumen
Tunggal
Instrumen tunggal
adalah alat musik yang dimainkan secara tunggal yang terlepas dari ansambel
gondang hasapi dan gondang sabangunan. instrumen yang termasuk instrumen tunggal
dalam masyarakat Batak Toba antara lain:
1.
Sulim (transverse flute), kelompok aerophone. Dimainkan dengan meniup dari
samping (side blown flute), berfungsi
membawa melodi
2.
Saga-saga (jew’s harp) klasifikasi idiophone. Dimainkan dengan menggetarkan
lidah dan instrumenttersebut di rongga mulut sebagai resonatornya.
3.
Jenggong (jew’s harp) mempunyai konsep yang sama
dengan saga-saga, namun materinya
berbeda karena terbuat dari logam.
4.
Talatoit (transverse flute), sering juga disebut salohat atau tulila. Dimainkan dengan meniup dari samping. Kelompok aerophone.
5.
Sordam (long flute) terbuat dari bambu, kelompok
aerophone, dimainkan dengan ditiup
dari ujung (end blown flute).
6.
Tanggeteng,
alat musik yang senarnya terbuat dari rotan dan peti kayu sebagai resonatornya.
Dari ketiga jenis seni musik instrumental di atas, yang kerap
ditemukan di kota Medan hanyalah ansambel gondang
sabangunan, sedangkan ansambel gondang
hasapi sudah sangat jarang, namun demikian terdapat juga beberapa
pengggabungan antara instrumen tunggal dengan anasambel gondang hasapi yang di
kota Medan sering disebut uning-uningan,
juga sering digabungkan dengan instrumen musik barat seperti, keyboard, guitar, bass, drum, saxophone,
trompet, yang di kota Medan sering disebut brass band atau musik tiup.
[1] Payung
Bangun 1980 : 95-142
[2] Panggilan
orang batak toba untuk kakak atau saudara perempuan.
[3] www.silabanbrotherhood.com
[4] www.samosirinfo.com
[5] Lihat Ende andung
[6] Circular breathing
[7] Mamalu dapat diartikan dengan memukul
atau membunyikan.
[8] Bunyi yang
terdengar terhentak atau yang berupa aksentuasi
Simbolon Welly, 2010.“Kajian Organologis Garantung Buatan Bapak Junihar
Sitohang di Kelurahan Helvetia Timur, Kecamatan Helvetia Kota
Medan” Skripsi Sarjana S1 Etnomusikologi Fak. Sastra USU, Tidak Diterbitkan