MUSIK SIMALUNGUN
Kesenian
adalah merupakan ekspresi perasaan manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan
suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif (Koentjaraniningrat,
1980:395-397). Kesenian pada masyarakat simalungun sangat banyak dan beragam.
Taralamsyah Saragih dalam Seminar Kebudayaan Simalungun 1964 mengatakan bahwa
kesenian yang ada di Simalungun dapat dibagi atas Seni Musik (Gual), Seni Suara (doding), Seni Tari (Tortor).
Menurut M.D. Purba dalam bukunya yang berjudul
Adat Perkawinan Simalungun(1985), ada dua cara yang umum yang dipakai untuk
menarik garis keturunan, yaitu :
1.
Menarik garis keturunan hanya dari
satu pihak, yaitu mungkin dari pihak laki-laki dan mungkin pula dari pihak
permpuan. Masyarakat demikian dinamakan masyarakat unilateral. Jika masyarakat
tersebut menarik garis keturunan dari pihak laki-laki atau ayah saja, maka
keturunan tersebut disebut masyarakat patrilineal. Dan jika menarik dari garis
keturunan perempuan (ibu) maka disebut matrilineal.
2.
Menarik garis keturunan dari kedua
orang tua, yaitu ayah dan ibu, masyarakat demikian disebut masyarakat bilateral
atau masyarakat parental
Dari kedua cara tersebut diatas,masyarakat
Simalungun termasuk masyarakat yang menarik garis keturunan dari salah satu
pihak saja, yaitu dari pihak laki-laki atau ayah. Dengan demikian masyarakat
Simalungun adalah masyarakat unilateral-patrilineal, yang artinya bahwa setiap
anak-anak yang lahir baik laki-laki maupun perempuan dengan sendirinya akan
mengikuti klan atau marga dari ayahnya (1985:108).
Bukti bahwa garis keturunan diambil dari pihak
laki-laki adalah dengan adanya marga dalam masyarakat Simalungun. Setiap anak
yang lahir dalam satu keluarga di etnis Simalungun, secara otomatis akan
memiliki marga yang sama dengan marga si ayah.
Susunan masyarakat Simalungun
didukung oleh berbagai marga yang mempunyai hubungan tertentu, yang disebabkan
oleh hubungan perkawinn. Hubungan perkawinan antar marga-marga mengakibatkan
adanya penggolongan antar tiap-tiap marga. Marga yang satu akan mempunyai
kedudukan tertentu terhadap marga lain. Perkerabatan
dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai Partuturan.
Partuturan ini menetukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon),
dan dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut[1]:
1.
Tutur Manorus /
Langsung
Perkerabatan
yang langsung terkait dengan diri sendiri. Misalnya: Botou artinya saudara perempuan baik lebih tua atau lebih muda. Mangkela (baca: Makkela) artinya suami
dari saudara perempuan dari ayah. Sima-sima
artinya anak dari Nono/Nini,
2. Tutur
Holmouan / Kelompok
Melalui
tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun.
Misalnya: Bapa Tongah artinya saudara lelaki ayah yang lahir
dipertengahan (bukan paling muda, bukan paling tua). Tondong Bolon artinya
pambuatan (orang tua atau saudara laki dari istri/suami). Panogolan artinya
kemenakan, anak laki/perempuan dari saudara perempuan.
3.
Tutur Natipak /
Kehormatan
Tutur Natipak
digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda
hormat. Misalnya: Kaha digunakan pada istri dari saudara laki-laki yang
lebih tua. Bagi wanita, kaha digunakan untuk memanggil suami boru dari kakak
ibu. Ambia Panggilan seorang laki terhadap laki lain yang seumuran atau
bawahan.
Ikatan kekerabatan diklasifikasikan
dalam suatu sistem yang dalam bahasa Simalungun dikenal Tolu Sahundulan, yaitu
:
1.
Tondong (Pemberi istri)
2.
Anak Boru/Boru (Penerima Istri)
3.
Sanina/Sapanganonkon (Sanak saudara,
individu semarga atau pembawa garis keturunan)
Dalam masyarakat Simalungun seorang
pria belum dianggap sebagai orang dewasa dan belum dapat berperan serta dalam
fungsi-fungsi adat bila yang bersangkutan belum menikah atau sudah menikah tapi
belum mempunyai keturunan.
Marga-marga Simalungun
Terdapat empat marga asli suku
Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu[2]:
1.
Sinaga
2.
Saragih
3.
Damanik
4. Purba
Keempat
marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (Permusyawaratan besar) antara
empat raja besar berjanji untuk tidak saling menyerang dan tidak saling
bermusuhan, Marsiurupan bani hasunsuhan na legan, rup mangimbang munsuh,keempatrajatersebutadalah:
1. Raja Nagur bermarga
Damanik
Damanik berarti Simada Manik
(pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat,
Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).
Raja ini berasal dari kaum bangsawan India Selatan dari Kerajaan Nagore. Pada
abad ke-12, keturunan raja Nagur ini mendapat serangan dari Raja Rajendra Chola
dari India, yang mengakibatkan terusirnya mereka dari Pamatang Nagur di daerah
Pulau Pandan hingga terbagi menjadi 3 bagian sesuai dengan jumlah puteranya:
Marah Silau yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, tuan raja siantar dan tuan raja damanik Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola) Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok). Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.
Marah Silau yang menurunkan Raja Manik Hasian, Raja Jumorlang, Raja Sipolha, Raja Siantar, tuan raja siantar dan tuan raja damanik Soro Tilu (yang menurunkan marga raja Nagur di sekitar gunung Simbolon: Damanik Nagur, Bayu, Hajangan, Rih, Malayu, Rappogos, Usang, Rih, Simaringga, Sarasan, Sola) Timo Raya (yang menurunkan raja Bornou, Raja Ula dan keturunannya Damanik Tomok). Selain itu datang marga keturunan Silau Raja, Ambarita Raja, Gurning Raja, Malau Raja, Limbong, Manik Raja yang berasal dari Pulau Samosir dan mengaku Damanik di Simalungun.
2. Raja Banua Sobou bermarga Saragih
Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih
berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau
pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.
Keturunannya adalah :
·
Saragih Garingging yang pernah
merantau ke Ajinembah dan kembali ke Raya. Saragih Garingging kemudian pecah
menjadi dua, yaitu: Dasalak, menjadi raja di Padang Badagei, Dajawak merantau
ke Rakutbesi dan Tanah Karo dan menjadi marga Ginting Jawak.
·
Saragih Sumbayak keturunan Tuan
Raya Tongah, Pamajuhi, dan Bona ni Gonrang.
Walaupun jelas terlihat bahwa hanya ada dua
keturunan Raja Banua Sobou, pada zaman Tuan Rondahaim terdapat beberapa marga
yang mengaku dirinya sebagai bagian dari Saragih (berafiliasi), yaitu: Turnip,
Sidauruk, Simarmata, Sitanggang, Munthe, Sijabat, Sidabalok, Sidabukke,
Simanihuruk. Ada satu lagi marga yang mengaku sebagai bagian dari Saragih yaitu
Pardalan Tapian, marga ini berasal dari daerah Samosir. Rumah Bolon Raja Purba
di Pematang Purba, Simalungun.
3. Raja Banua Purba bermarga
Purba
Purba menurut bahasa berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur,
pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan atau sarjana.
Keturunannya adalah: Tambak, Sigumonrong, Tua, Sidasuha (Sidadolog,
Sidagambir). Kemudian ada lagi Purba Siborom Tanjung, Pakpak, Girsang, Tondang,
Sihala, Raya. Pada abad ke-18 ada beberapa marga Simamora dari Bakkara melalui
Samosir untuk kemudian menetap di Haranggaol dan mengaku dirinya Purba. Purba
keturunan Simamora ini kemudian menjadi Purba Manorsa dan tinggal di Tangga
Batu dan Purbasaribu.
4. Raja Saniang Naga bermarga Sinaga
Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam
mitologi dewa dikenal sebagai penebab Gempa dan Tanah Longsor. Keturunannya
adalah marga Sinaga di Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan. Saat kerajaan
Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke-14, pasukan dari Jambi
yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku
bahwa dirinya adalah Sinaga.
Menurut Taralamsyah Saragih, nenek moyang
mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong
setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan
Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon). (Tideman, 1922).
Sistem Kepercayaan
Sepanjang
yang dapat diketahui melalui catatan (analisis) Tiongkok sewaktu Dinasty SWI
(570-620) Kerajaan Nagur sebagai Simalungun Tua, telah banyak disebut-sebut
dalam hasil penelitian Sutan Martua Raja Siregar yang dimuat dalam Buku Sejarah
Batak oleh Batara Sangti Simanjuntak, dimana dinyatakan bahwa pada abad ke V
sudah ada Kerajaan “Nagur” sebagai satu “Simalungun Batak Friest Kingdom” yang
sudah mempunyai hubungan dagang dengan bangsa-bangsa lain terutama dengan
Tiongkok (China).
Menurut
Hikayat “Parpandanan Na Bolag” (Pustaha
Laklak lama Simalungun) bahwa wilayah Kerajaan Parpandanan Na Bolag (Nagur)
hampir meliputi seluruh Perca (Sumatera) bagian Utara , yang terbentang luas
dari pantai Barat berbatas dengan Lautan Hindia, sampai ke Sebelah Timur dengan
Selat Malaka, dari Sebelah Utara berbatas dengan yang disebut Jayu (Aceh
sekarang) sampai berbatas dengan Toba di sebelah Selatan.
Agama
yang dianut kerajaan Nagur adalah Animisme
yang disebut dengan supajuh
begu-begu/sipele begu. Sebagai
jabatan pendeta disebut Datu, mereka percaya akan adanya sang pencipta alam
yang bersemayam di langit tertinggi, dan mengenal adanya tiga Dewa, yaitu :
1. Naibata
na i babou/i nagori atas (di Benua Atas)
2. Naibata
na i tongah/i nagori tongah (di Benua Tengah)
3. Naibata
na i toruh/i nagori toruh (di Benua Bawah)
Pemanggilan
arwah nenek moyang disebut “Pahutahon” yaitu melalui upacara ritual, dimana
dalam acara itu roh tersebut hadir melalui “Paninggiran” (kesurupan) salah
seorang keturunannya atau seseorang yang mempunyai kemampuan sebagai perantara
(paniaran).
Menurut
penelitian G.L Tichelman dan P. Voorhoeve seperti dimuat dalam bukunya
“Steenplastiek Simaloengoen” terbitan Kohler & Co Medan tahun 1936 bahwa di
Simalungun (kerajaan Nagur) terdapat 156 Panghulubalang (Berhala) yaitu
patung-patung batu yang ditempatkan pada tempat yang dikeramatkan (Sinumbah)
dan ditempat inilah dilakukan upacara pemujaan.
Pelaksanaan
urusan kepercayaan diserahkan kepada “Datu” yang disebut juga “Guru”. Pimpinan
“datu-datu” ini ialah “GURU BOLON”. Setiap Datu/Guru mempunyai “Tongkat Sihir”
atau “Tungkot Tunggal Panaluan” (yang diperbuat dari kayu tanggulan yang diukir
dengan gana-gana bersambung-sambung untuk mengusir penyakit). Acara kepercayaan
itu dipegang penuh oleh Datu, baik di istana maupun di tengah-tengah masyarakat
umum. Raja-raja dan kaum bangsawan mereka sebut juga “tuhan” bukan saja
disegani tetapi ditakuti masyarakat, tetapi akhirnya sesudah masuknya agama
Islam dan Kristen sebutan tersebut berubah menjadi Tuan.
Masuknya
Agama Islam ke Simalungun adalah pada abad ke-15 melalui daerah Asahan dan
Bedagai yang dibawa oleh orang-orang dari kerajaan Aceh. Awalnya perkembangan
Agama Islam berada di daerah sekitar Perdagangan dan Bandar ( Sihotang
1993:23).
Kemudian
sekitar tahun 1903, Gereja Batak Toba (HKBP) yang berada dalam fase
perkembangan kemudian berkembang hingga menjangkau masyarakat di luar
lingkungan mereka sendiri. Pada suatu konferensi yang dilakukan pada tahun
tersebut diambil suatu keputusan untuk memulai karya misi pada masyarakat
Simalungun. Kelompok Kristen Simalungun yang masuk dari upaya ini pada awalnya
hanya sekadar bagian dari Gereja Batak Toba (dinamakan HKBP-S). Namun pada
tahun 1964 terjadi pemisahan dan
lahirlah organisasi baru yang menamakan diri sebagai Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Salah satu bagian
integral dari proses Kristenisasi adalah berupa pendirian gereja-gereja dan
sekolah-sekolah. Di sana anak-anak dan orang-orang dewasa dapat belajar membaca
dan menulis dalam bahasa mereka sendiri dan kemudian dalam bahasa Indonesia.
Masyarakat Simalungun memiliki
kebudayaan yang diturunkan secara turun-temurun oleh leluhurnya, baik secara
lisan maupun tulisan. Salah satu bentuk dari kebudayaan tersebut adalah
kesenian. Kesenian pada masyarakat Simalungun sangat banyak, di antaranya
adalah seni rupa, seni tari, seni ukir, dan seni musik. Dalam tulisan ini, penulis lebih terfokus untuk mengkaji seni musiknya.
MARTUAH SARAGIH SEDANG MEMAINKAN SARUNEI |
Pada masyarakat
Simalungun seni musik terdiri atas dua bagian, yaitu musik vokal yang disebut inggou dan musik instrumen yang disebut gual.[1]
Musik instrumen juga dapat dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu musik instrumen
yang dimainkan secara ensambel[2]
dan musik instrumen yang dimainkan secara tunggal (solo instrumen). Instrumen yang dimainkan secara tunggal (solo
instrumen) yang ada dalam
kebudayaan Simalungun adalah saligung,
Jatjaulul atau tengtung, husapi, Tulila, Ingon-ingon, arbab,
garattung, sordam. Sedangkan Musik instrumen yang
dimainkan secara ensambel yaitu Gonrang Sidua-dua
dan Gonrang Sipitu-pitu atau Gonrang bolon[3].
Gonrang Sipitupitu dan Gonrang Bolon adalah ensambel yang sama, akan tetapi
penamaan dalam upacara adat saja yang membedakannya. Gonrang Sipitu-pitu
disebut pada saat upacara dukacita (pusok
ni uhur) sedangkan Gonrang Bolon disebut pada upacara sukacita (malas ni uhur). Ensambel Gonrang Sipitu-pitu terdiri dari satu set gonrang yang terdiri dari tujuh buah gendang satu
sisi, sepasang Gong besar, serta dua buah gong kecil yang disebut dengan
Mongmongan. Dan satu buah Sarunei sebagai
pembawa melodi.
Ensambel Gonrang Sidua-dua terdiri dari dua
buah gendang dua sisi yang dimainkan dengan cara dipukul dengan stik untuk bagian sisi sebelah
kanan, dan dengan tangan untuk bagian sebelah kiri, Sedangkan untuk pembawa melodi Sarunei dan gong prinsipnya sama saja dengan ensambel gonrang
sipitu-pitu atau gonrang bolon.
Seni musik
digunakan untuk upacara-upacara hiburan dan upacara-upacara adat lainnya
misalnya upacara dukacita (pusok ni uhur)
dan sukacita (malas ni uhur). Alat-alat musik pada masyarakat simalungun dapat
dimainkan secara ensamel dan dapat pula dimainkan secara tunggal. Alat musik
yang dimainkan secara ensambel adalah Gonrang Sidua-dua dan Gonrang
Sipitu-pitu. Penggunaan instrumen sarunei dalam ensambel Gonrang Sidua-dua dan
Gonrang Sipitu-pitu sangat penting, diantaranya:
1. Manombah yaitu
suatu upacara untuk mendekatkan diri kepada sembahan
2. Maranggir yaitu
upacara untuk membersihkan badan dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik, dan
juga membersihkan diri dari gangguan roh-roh jahat
3. Ondos Hosah yaitu
upacara khusus yang dilakukan suatu desa atau keluarga agar terhindar dari mara
bahaya.
4. Rondang Bittang yaitu
acara tahunan yang diadakan suatu desa karena mendapatkan panen yang baik.
Muda-mudi menggunakan kesempatan tersebut untuk mencari jodoh.
[1] Sinaga, Saridin Tua. 2007. “Kajian
Organologis Arbab Simalungun Buatan Bapak Arisden Purba di Desa Maniksaribu
Kecamatan Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun”
[2] Ensambel/Ansambel (Kamus Musik
M. Soeharto, 1992 : 4) dalam bahasa prancis adalah kelompok kegiatan seni
musik, dengan jenis kegiatan seperti tercantum dalam sebutannya. Biasanya
tampil sebagai kerjasama pesertanya dibawah pimpinan seorang pelatih
[3] Penulisan kata ini dengan huruf miring atau italuic hanya dimunculkan dan diterapkan pada saat pemunculan
pertama ini saja, yang mengindikasikan ini adalah istilah yang dipakai dalam
bahasa Melayu.
SUMBER:
Situmeang,Henry. 2011.“Kajian Organologis Sarunei Simalungun Buatan Bapak
Martuah Saragih di Kecamatan Siantar Utara Kota Pematang Siantar” Skripsi Sarjana Etnomusikologi FIB. USU, Tidak Diterbitkan
budayakan trz kesenian indoneasia :)
ReplyDeletesip..
ReplyDeletemantaf...kunjungi balek blog awak lek..hahahha
ReplyDeletehttp://we-go-it.blogspot.com/
ReplyDelete