Sejak berakhirnya riwayat
kerajaan-kerajaan di Simalungun pada tahun 1946 yang diakibatkan oleh
sekelompok orang yang tersulut kemarahannya, karena kolusi yang dilakukan oleh
para raja dan keluarganya dengan pemerintah Belanda yang menguntungkan mereka. Demi
kekayaan pribadi dari hasil pungutan sewa tanah, mereka mengorbankan
kepentingan masyarakat Simalungun dengan melakukan pengadilan jalanan secara
paksa terhadap raja-raja dan keluarganya (kecuali yang melarikan diri) dibunuh
dan istana mereka dibakar habis. Peristiwa tersebut kini dikenal dengan
Revolusi Sosisal 1946 ( Jansen 2003 : 25).
Revolusi sosial 1946 mengakibatkan
sebagian besar peninggalan budaya dan kesenian musik musnah dan tidak dapat
diperoleh kembali. Kesenian dan musik tradisional hampir mengalami kepunahan,
hal tersebut disebabkan istana-isatana yang dulunya berfungsi sebagai tempat pusat kegiatan kebudayaan habis
terbakar.
Kemudian pada lima hingga sepuluh tahun
setelah Revolusi Sosial tersebut terjadi, kesenian dan musik tradisional
Simalungun meningkat secara bertahap dan bertahan hingga saat ini.
Pada umumnya Masyarakat
Simalungun yang bermukim di Kota Pematangsiantar memandang diri mereka sebagai
satu kelompok etnis yang kuat yang dipersatukan oleh bahasa, musik tradisional,
serta adatistiadat dan tetap berpegang teguh pada falsafah hidup mereka.
Misalnya pada sistem kekerabatan mereka yang menganut sistem adat “Tolu
Sahundulan” (Tiga satu tempat duduk) yaitu menjelaskan bagaimana posisi
masing-masing di dalam satu ruangan dibagi menjadi 3 tempat. Sanina (Sapanganonkon) mengambil tempat di tengah-tengah (bagian tengah), Tondong tempat duduknya di sebelah kanan
dari suhut, sedang Boru (Anak Boru)
mengambil tempat duduk di sebelah kiri dari suhut. Ketiga unsur kekerabatan ini
berada dalam satu lingkungan tempat duduk (sahundulan).
Jika salah satu dari ketiga kelompok ini mengingkari kewajibannya, keseluruhan
struktur ini akan terancam runtuh.
Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah ini
dipegang teguh dan hingga kini tetap menjadi landasan kehidupan sosial dan
bermasyarakat di lingkungan masyarakat Simalungun, khususnya yang bermukim di
Kota Pematangsiantar. Dan juga dalam melakukan kegiatan yang memiliki
unsur-unsur tradisi atau adat istiadat dalam setiap fase-fase kehidupan mereka,
masyarakat Simalungun masih mempergunakan adat istiadatnya dalam mempertahankan
identitasnya, salah satu di antaranya adalah mereka tetap menggunakan hiou (kain adat) setiap menghadiri
ataupun mengadakan suatu upacara adat.
Ada beberapa upacara adat maupun upacara
hiburan pada masyarakat Simalungun yang menggunakan instrumen sarunei dalam ensambel
gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu atau gonrang bolon, antara lain: Ondos Hosah[1],
Rondang bintang[2],
Mamongkot Rumah Bayu[3],
Patuekkon[4],
Bagah-bagah ni Sahalak[5],
Mangiligi[6],
marillah[7].
Sebagian besar upacara masyarakat
Simalungun tersebut, saat ini tidak lepas dari peranan agama Kristen sebagai
agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat Simalungun. Seperti pada sebuah
upacara pernikahan pada masyarakat Simalungun, dimana sebelum melaksanakan
upacara adatnya, kedua mempelai terlebih dahulu memperoleh pemberkatan di
gereja sesuai dengan peraturan gereja yang bersangkutan. Begitu juga dengan
anak yang diberi nama setelah lahir, terlebih dahulu mendapatkan baptisan kudus
di gereja yang bersangkutan, lalu kemudian dilaksanakan upacara adatnya.
Dalam penggunaannya, Sarunei digunakan
dalam ensambel Gonrang Sipitu-pitu
atau Gonrang Bolon dan Gonrang Sidua-dua.
Ensambel gonrang sipitu-pitu terdiri dari satu buah sarunei, tujuh buah gendang satu sisi, gendang yang terbesar
disebut jangat, kemudian empat buah gendang setelahnya disebut panongah dan
sisanya dua buah gendang terkecil disebut hat dan ting (digabungkan menjadi hatting) sepasang gong besar, serta dua
buah gong kecil yang disebut dengan Mongmongan.
Ensambel Gonrang Sidua-dua terdiri dari dua buah gendang dua sisi yang
dimainkan dengan cara dipukul dengan
stik untuk bagian sisi sebelah kanan, dan dengan tangan untuk bagian sebelah
kiri, alat tabuh yang berukuran lebih besar dan bernada lebih rendah disebut
jangat dan alat tabuh yang berukuran kecil dan bernada lebih tinggi disebut
tikkah. Sedangkan untuk pembawa melodi Sarunei dan gong prinsipnya sama saja dengan ensambel Gonrang
Sipitu-pitu atau Gonrang Bolon.
Menurut bapak
Martuah Saragih Gonrang Sipitu-pitu
biasa digunakan pada upacara adat
kematian pada masyarakat simalungun, seperti upacara adat namatei sayur matua, upacara ini dilakukan untuk menghormati
seseorang yang meninggal dunia pada usia lanjut dan sudah memiliki anak cucu.
Tetapi jika seseorang yang meninggal saat masih anak-anak, remaja ataupun
dewasa tetapi belum menikah ensambel Gonrang
Sipitu-pitu tersebut tidak dapat dimainkan[8].
Repertoar lagu
yang biasa dimainkan pada acara adat namatei sayurmatua antaralain[9] :
1.
Sayur matua.
2.
Rambing-rambing ramos.
3.
Surung dayung.
4.
Tappe tuah.
5.
Gonrang huda huda.
6.
Parohot.
Di kota Pematangsiantar masih banyak
kelompok musik tradisional Simalungun yang menggunakan instrumen sarunei dalam
setiap pertunjukan yang mereka adakan, tidak hanya dalam pertunjukan untuk
tujuan upacara adat saja, bahkan digunakan juga dalam beberapa pertunjukan yang
bersifat hiburan.
Berdasarkan hasil
penelitian yang penulis lakukan, dan menurut informasi dengan informan, Terdapat
berbagai upacara adat yang bisa kita temui pada masyarakat Simalungun di kota
Pematangsiantar yang melibatkan kesenian yang menggunakan instrumen sarunei
sebagai instrumen pembawa melodi.
Dalam upacara adat, instrumen sarunei digunakan dalam acara :
·
Bagah-bagah
ni Sahalak yaitu upacara acara yang dilaksanakan
seseorang karena ada sesuatu niat untuk membuat pesta
·
Marhajabuan
yaitu acara pemberkatan perkawinan
·
Mangiligi
yaitu acara yang diadakan untuk menghormati
seseorang yang meninggal dunia yang sudah tua, yang sudah memiliki cucu
·
Mangalo-alo
tamu yaitu upacara untuk menyambut tamu dari
luar daerah
·
Pesta
Malas Ni Uhur yaitu acara kegembiraan yang
diadakan suatu keluarga, yang menari bersama-sama
Beberapa
hal di atas dapat merupakan gambaran mengenai eksistensi atau keberadaan
instrumen Sarunei dalam ensambel Gonrang pada masyarakat Simalungun di kota
Pematangsiantar saat ini.
Fungsi Saruei
pada Masyarakat Simalungun
di kota Pematangsiantar
Dalam musik Simalungun, ada suatu
keyakinan kuat bahwa bunyi-bunyi musik secara langsung dapat berpengaruh
terhadap perilaku manusia serta kejadian-kejadian sepanjang hidupnya.
Menurut penjelasan
dari Bapak Martuah Saragih, di dalam ensambel Gonrang, sarunei memiliki peran utama yaitu sebagai pembawa melodi.
Penerapan
metode siklus pernapasan yang tidak terputus,
tanpa adanya perhentian atau istirahat dari awal hingga akhir sebuah lagu dalam
memainkan sebuah repertoar lagu, menjadikan pemain sarunei sebagai pemimpin
didalam didalam ensambel musik gonrang. Hal tersebut disebabkan sarunei adalah
instrumen pembawa melodi pokok yang menjadi nada khas sebuah lagu dalam setiap
gual, yang dibawakan dalam upacara-upacara pada masyarakat Simalungun.
Dalam fungsinya sarunei
dapat digunakan pada
ucara-ucara adat, selain itu sarunei juga dapat dimainkan secara pribadi
untuk keperluan alat hiburan semata. Untuk keperluan hiburan sarunei yang
digunakan adalah sarunei ponggol-pomggol[10],
Sarunei pongol-ponggol biasa
digunakan saat mengisi waktu luang ketika berada
di rumah. Akan tetapi pada zaman ini penggunaan sarunei tergolong situasional.
Maksudnya dalam acara hiburan terkadang bagian sigumbanginya sudah dipergunakan.
Dalam
menuliskan fungsi sarunei, maka penulis mengacu pada teori Alan P.Merriam, yaitu:
…use then refers to the situation in which is employed in
human action : function concern the reason for its employment and particulary
the broader purpose which it serves….(Merriam 1964:210)
Dari kalimat di atas, dapat diartikan
bahwa use (penggunaan) bahwa
menitikberatkan pada masalah situasi atau cara yang bagaimana musik itu
digunakan, sedangkan function
(fungsi) yang menitikberatkan pada
alasan penggunaan atau menyangkut tujuan pemakaian musik, terutama maksud yang
lebih luas, sampai sejauh mana musik itu mampu memenuhi kebutuhan manusia itu
sendiri.
Dalam penyajiannya sarunei Simalungun
dapat dikategorikan kedalam beberapa fungsi, antaralain :
.1 Fungsi
Pegungkapan Emosional
Fungsi pengungkapan perasaan dapat
dituangkan dengan berbagai cara sebagai pengungkapan emosional karena memainkan
sarunei dapat dilakukan sebagai hiburan perorangan maupun perkelompok (sarunei
dalam ensambel gonrang). Dalam memainkan sarunei, pemain sarunei biasanya
melakukan penghayatan terhadap melodi-melodi yang dimainkannya. Bila memainkan
melodi yang sedih maka pemain sarunei akan ikut bersedih, demikian juga dengan
sebaliknya.
Selain hal yang
disebut di atas salah satu faktor yang dianggap penting dalam menentukan reaksi
suasana hati terhadap musik di kalangan masyarakat Simalungun adalah tempo
musik yang dibawakan. Untuk menunjukkan suasana gembira, maka dipakai tempo
sedang hingga tempo cepat. Sedangkan tempo lambat umumnya dipakai untuk yang
berhubungan dengan hal-hal musibah, kekecewaan, kesedihan dan kerinduan hati.
Banyaknya lagu-lagu sedih di daerah Simalungun dan digunakannya istilah inggou menggambarkan makna suasana hati
dari lagu-lagu tersebut serta persepsi masyarakat Simalungun terhadap lagu-lagu
tersebut. Pengungkapan perasaan mungkin paling mudah dan sederhana untuk
difahami dari lirik yang dikandungnya.
.2
Fungsi Hiburan
Sarune
juga dapat berfungsi sebagai sarana hiburan, dikarenakan sarunei biasa
dimainkan bersamaan dalam ansambel gonrang
sipitu-pitu maupun sidua-dua,
yang juga berfungsi sebagai hiburan misalnya dalam pertunjukan Rondang Bittang yang biasanya digunakam
muda-mudi sebagai kesempatan untuk mencari jodoh. Dalam acara ini sarunei dalam
ensambelnya sering difungsikan untuk mengiringi tarian, nyanyian dan sebagai
musik pengiring (back sound). Sarunei
sebagai instrumen pembawa melodi dalam ensambel musik gonrang sebagai sarana
hiburan juga dijumpai pada kegiatan huda-huda
yang diadakan sebagai bagian dari upacara pemakaman. Ensambel musik gonrang
dibawakan mengiringi tari jenaka huda-huda. Gual yang digunakan pada acara ini
adalah gual huda-huda.
Penggunaan ensambel gonrang sebagai sarana
hiburan juga dapat dilihat pada upacar-upacara lainnya seperti Manumbah (penyembahan tempat keramat
maupun arwah para nenek moyang), pesta palaho/paroh
boru (pesta pernikahan), pesta mangalo-alo
tamuei (pesta penyambutan tamu atau undangan istimewa), mamongkot jabu (selamatan memasuki rumah
baru).
Dengan penjelasan dari Hal tersebut dapat dilihat bahwa salah satu
fungsi musik dikalangan masyarakat Simalungun adalah menghibur dengan cara
mendengarkan dan berpartisipasi secara langsung dan sebagai prasyarat untuk
acara tari-tarian.
.3
Fungsi Kesinambungan Kebudayaan
Ensamble musik
gonrang merupakan bagian
dari kebudayaan Simalungun yang sampai sekarang ini tetap penggunaannya pada setiap
upacara dan terpelihara di tengah-tengah masyarakat pemiliknya yang ada di kota
Pematangsiantar.
Dengan
mengikutsertakan sarunei ini dalam setiap upacara, misalnya: upacara pernikahan,
upacara kematian dan seni pertunjukkan, akan menjadikannya tetap terpelihara
dan berkesinambungan. Hal itu dianggap sangat penting oleh masyarakatnya,
karena dengan mempertahankan sarunei sebagai instrumen
pokok pembawa melodi dalam
ensambel musik gonrang pada setiap upacara dengan sendirinya telah melaksanakan
apa yang diwariskan oleh leluhurnya.
.4
Fungsi Pengintegrasian Masyarakat
Masyarakat
Simalungun
yang terikat dalam satu kesatuan. Hal tersebut dapat
dilihat dari banyak perkumpula-perkumpulan masyarakat Simalungun di Kota
Pematangsiantar seperti perkumpulan marga Damanik sekota Pematangsiantar,
Perkumpulan marga Saragih sekota Pematangsiantar, dll. Komunitas masyrakat Simalungun yang hidup dan berkembang di kota Pematangsiantar tersebut tetap menggunakan Ensambel musik Gonrang dan instrumen sarunei dalam
setiap upacara-upacara adat baik untuk mengiringi upacara pernikahan
maupun upacara kematian,
bahkan untuk mengiringi peresmian suatu lembaga ataupun hari besar nasional,
pada masyarakat Simalungun di kota Pematangsiantar. Hal ini menunjukkan bahwa adanya suatu komunitas Simalungun yang dapat diketahui melalui kesenian Simalungun yang hidup dan berkembang dalam komunitasnya.
5 Fungsi Reaksi Jasmani dan Komunikasi
5 Fungsi Reaksi Jasmani dan Komunikasi
Rondang Bittang merupakan acara tahunan
yang diadakan suatu desa karena mendapatkan panen yang baik. Di dalam acara ini
banyak bentuk-bentuk kesenian Simalungun yang ditampilkan, seperti Tor-tor sombah
yang disebut dengan tarian agung atau tarian klasik yang biasa dipersembahkan
untuk menyambut orang-orang yang dihormati jumlah penarinya 6 orang, Huda-huda
atau Toping-toping ( tarian Simalungun yang memakai topeng dan paruh burung
enggang) diiringi Gual Huda-Huga jumlah penarinya ada 3 orang, Taur-taur (Duaet
tradisional Simalungun) menggambarkan cinta yang berkomunikasi melalui lagu.
Penggunaan sarunei dalam ensambel
gonrang sebagai musik pengiring tari-tarian tersebut dapat memberikan
rangsangan reaksi jasmani pada setiap penonton.
Bunyi-bunyian Sarunei tersebut akan
menjadi sumber komunikasi bagi masyarakat baik yang muda maupun yang tua di
sekitar bahwa ada suatu acara. Sehingga para penonton yang biasanya mayoritas
muda-mudi berdatangan ketempat tersebut untuk menonton, melihat, menari dan
menggunakan kesempatan tersebut untuk saling berkomunikasi, berinteraksi dan
dapat dijadikan sebagai ajang mencari jodoh bagi kaum muda-mudi.
[1] Ondos hosah adalah upacara yang dilakukan suatu keluarga atau suatu
desa agar terhindar dari mara bahaya.
[2] Rondang bittang adalaha : Acara yang dilakukan suatu desa karena
mendapatkan panen yang baik.
[3] Cara memasuki rumah baru agar mendapat rejeki dan jauh dari
marabahaya.
[4] Acara Untuk membuat nama seseorang yang biasanya dibawa ke air untuk
di mandikan.
[5] Acara yang dilaksanakan karena ada suatu niat untuk membuat pesta
[6] Upacara yang dilakukan untuk menghormati seseorang yang sudah
meninggal yang sudah mempunyai cucu
[7] Acara muda-mudi menari bersama.
[9] Hasil wawancara penulis dengan bapak Martuah Saragih 28 Maret 2011.
[10] Sarunei ponggol-ponggol adalah sarunei yang hanya menggunakan bagian
baluh, bagian sigumbanginya tidak
dipasang
SUMBER:
Situmeang,Henry. 2011.“Kajian Organologis Sarunei Simalungun Buatan Bapak
Martuah Saragih di Kecamatan Siantar Utara Kota Pematang Siantar” Skripsi Sarjana Etnomusikologi FIB. USU, Tidak Diterbitkan
No comments:
Post a Comment