Dari
beberapa informan yang telah penulis temui secara terpisah, diantaranya adalah
bapak Martuah Saragih dan Jahuat Purba sebagai pemain sarunei mengatakan bahwa
mereka tidak mengetahui asal-usul alat musik sarunei tersebut. Dan tidak pernah
mendengar cerita dari mulut kemulut dari leluhurnya tentang asal-usul alat
musik sarunei tersebut.
Jansen dalam bukunya Gonrang Simalungun
mengatakan:
“Memang benar adanya bahwa asal-usul alat
musik sarunei ini tidak jelas dan ,menjadi kabur oleh sekian banyak peristiwa
sejrah yang terjadi setelah alat musik ini mulai dikenal di Indonesia. Alat musik sarunei, sebagaimana yang
diketahui oleh orang-orang Batak, hanya merupakan salah satu bentuk alat musik
sejenis yang dijumpai mulai dari negeri Turki hingga ke wilayah Timur tengah
(zurna), Persia (surnay), dan India (shabnai dan nagasvaram)hingga ke Malaysia
(sernai), Cina (suoonab), dan Filipina (sabunay).” [1]
Masyarakat di Indonesia pada umumnya
mengenal dua macam istilah untuk membedakan alat-alat musik jenis tiup. Salah
satu merupakan turunan dari istilah Jawa-Hindu pereret, pleret, atau gem(p)ret
dan variasi-variasi nama seperti selompret, tarompet (Sunda), pereret (Bali),
dan tetepret (Banyumas) (Kunst 1949:238). Istilah lain, surnay memiliki
nama-nama turunan seperti saronen (Madura), srune (Aceh), serunai (Dayak), dan
sarunei di kalangan masyarakat Batak (Jairazbhoy 1970:386).
Jairazbhoy
dalam Jansen menyatakan bahwa orang-orang India mungkin merupakan sumber
asal-usul dari alat musik sarunei:
“Tampaknya
subbenua Asia Selatan sangat mungkin merupakan sumber penyebaran awal bagi alat
musik jenis oboe. Terlepas dari bukti yang ada pada mobori/madbukari yang
menyatakan bahwa sejenis bentuk indipenden alat musik oboe telah ada di India
saat alat musik surnai mulai dikenal. Ada bukti lebih lanjut yang didapat dari
relief-relief ukuran-ukuran dari periode gandhara pada masa sekitar abad kedua
dan ketiga masehi. Disitu alat bunyi-bunyian berbentuk kerucut yang ditiup pada
bagian ujungnya digambarkan sebanyak lebih dari satu kali.”[2]
Dengan kondisi keterbatasan bukti-bukti
yang ada, penjelasan mengenai asal-usul alat musik sarunei di masyarakat
Simalungun dan
suku Batak yang lain ialah alat musik ini dulunya di bawa dari timur tengah
melalui Gujarat (cambay) ke pesisir Timur Sumatera. Orang-orang melayu pesisir
kemudian berperan dalam memperkenalkan alat musik ini kepada orang-orang Batak
yang berada di wilayah pedalaman. Kapan berlangsungnya hal ini sulit untuk
dikatakan, namun diperkirakan hal ini terjadi tidak lama setelah setelah tahun
1300 saat Islam mulai berkembang di kota dermaga di wilayah timur laut. Dengan
memahami ciri kondisi masyarakat Batak pada masa itu yang terpencil,
kecendrungan mereka untuk resisten terhapad perubahan-perubahan mendadak serta
kemampuan mereka dalam hal memodifikasi dan mengadaptasi hal baru disesuaikan
dengan situasi yang mereka miliki. Penerimaan terhadap alat musik sarunei pada
zaman dahulu mungkin sempat memakan waktu yang cukup lama. Ada pendapat yang
menyatakan bahwa tradisi musik gonrang kemungkinan telah berusia hingga 500
tahun lamanya. (Jansen,2003:72)
Klasifikasi
Sarunei Simalungun
Dalam mengklasifikasikan instrumen
sarunei, penulis mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Curt Sach dan
Hornbostel (1961) yaitu:
”Sistem pengklasifikasian alat musik
berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem klasifikasi ini terbagi
menjadi empat bagian yaitu: Idiofon, (penggetar utama bunyinya adalah badan
dari alat musik itu sendiri), Aerofon, (penggetar utama bunyinya adalah udara),
Membranofon, (penggetar utama bunyinya adalah kulit atau membran), Kordofon, (penggetar utama bunyinya adalah
senar atau dawai).
Mengacu pada teori
tersebut, maka sarunei adalah instrumen musik Aerofon.
Hal ini disebabkan suara yang dihasilkan instrumen
tersebut penggetar utama bunyinya adalah udara. Sarunei merupakan jenis alat
musik tiup dari kayu (wind Instrumen)
yang bagian tengahnya dilubangi seperti bentuk kerucut (with conical bore), bila dilihat dari bagian ujung kebagian
pangkalnya, diameter bagian ujungnya lebih besar dibandingkan dengan dengan
bagian pangkalnya. Sarunei Simalungun ini memakai lidah sebagai penggetar udara
untuk menghasilkan bunyi ( Reed Aerofon).
Sarunei tersebut memiliki lidah getar ganda (double reed).
Tabel Klasifikasi instrumen musik sarunei
4
|
Aerofon
|
4.2
|
Wind Instrument/ Non Free Instrument
|
4.2.2
|
Reed Aerofon
|
4.2.2.1.1.2
|
With Conical Bore
|
Berdasarkan
pengklasifikasian di atas, maka sarunei merupakan jenis alat musik tiup
yang terbuat dari kayu (wind instrument), yang menggunakan udara sebagai sarana
untuk menghasilkan bunyi (Aerofon), memiliki lidah ganda ( double reed), bentuknya
sedikit mengerucut (with conical bore).
Konstruksi Bagian Yang Terdapat Pada Sarunei
Simalungun
Untuk membahas
bagian konstruksi ini, penulis mengacu pada Sarunei
Simalungun buatan bapak Martuah
Saragih.
Instrumen sarunei ini memiliki bagian-bagian yang mempunyai fungsi
masing-masing, antara lain :
·
Baluh adalah bagian laras dari
sarunei yang terbuat dari kayu yang terdapat tujuh buah lubang tempat jari.
·
Sigumbangi adalah badan sambungan yang
meneruskan diameter lubang yang lebih besar pada ujung bawah baluh. Panjangnya kira kira setengah
panjung baluh.
·
Nalih, merupakan bagian antara
baluh dan nalih, yang terbuat dari timah bentuknya seperti selongsong kecil dan
pada bagian ujungnya memiliki dua buah kerah yang berfungsi sebagai penahan
agar nalih tidak masuk terlalu jauh kedalam buluh dan sebagai penahan tuppak
bibir.
·
Anak
ni sarunei (lidah sarunei), berfungsi sebagai
penggetar udara.
·
Tuppak
bibir, selain berfungsi
sebagai tempat penahan bibir tuppak bibir juga
digunakan sebagai tempat mengikatkan anak ni sarunei.
No comments:
Post a Comment