Friday, November 2, 2012

Musik Nusantara - Eksistensi Sarunei pada Masyarakat Simalungun di kota Pematangsiantar



Sejak berakhirnya riwayat kerajaan-kerajaan di Simalungun pada tahun 1946 yang diakibatkan oleh sekelompok orang yang tersulut kemarahannya, karena kolusi yang dilakukan oleh para raja dan keluarganya dengan pemerintah Belanda yang menguntungkan mereka. Demi kekayaan pribadi dari hasil pungutan sewa tanah, mereka mengorbankan kepentingan masyarakat Simalungun dengan melakukan pengadilan jalanan secara paksa terhadap raja-raja dan keluarganya (kecuali yang melarikan diri) dibunuh dan istana mereka dibakar habis. Peristiwa tersebut kini dikenal dengan Revolusi Sosisal 1946 ( Jansen 2003 : 25). 
Revolusi sosial 1946 mengakibatkan sebagian besar peninggalan budaya dan kesenian musik musnah dan tidak dapat diperoleh kembali. Kesenian dan musik tradisional hampir mengalami kepunahan, hal tersebut disebabkan istana-isatana yang dulunya berfungsi sebagai  tempat pusat kegiatan kebudayaan habis terbakar.
         Kemudian pada lima hingga sepuluh tahun setelah Revolusi Sosial tersebut terjadi, kesenian dan musik tradisional Simalungun meningkat secara bertahap dan bertahan hingga saat ini.
Pada umumnya Masyarakat Simalungun yang bermukim di Kota Pematangsiantar memandang diri mereka sebagai satu kelompok etnis yang kuat yang dipersatukan oleh bahasa, musik tradisional, serta adatistiadat dan tetap berpegang teguh pada falsafah hidup mereka. Misalnya pada sistem kekerabatan mereka yang menganut sistem adat “Tolu Sahundulan” (Tiga satu tempat duduk) yaitu menjelaskan bagaimana posisi masing-masing di dalam satu ruangan dibagi menjadi 3 tempat. Sanina (Sapanganonkon) mengambil tempat di tengah-tengah (bagian tengah), Tondong tempat duduknya di sebelah kanan dari suhut, sedang Boru (Anak Boru) mengambil tempat duduk di sebelah kiri dari suhut. Ketiga unsur kekerabatan ini berada dalam satu lingkungan tempat duduk (sahundulan). Jika salah satu dari ketiga kelompok ini mengingkari kewajibannya, keseluruhan struktur ini akan terancam runtuh.
Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini tetap menjadi landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan masyarakat Simalungun, khususnya yang bermukim di Kota Pematangsiantar. Dan juga dalam melakukan kegiatan yang memiliki unsur-unsur tradisi atau adat istiadat dalam setiap fase-fase kehidupan mereka, masyarakat Simalungun masih mempergunakan adat istiadatnya dalam mempertahankan identitasnya, salah satu di antaranya adalah mereka tetap menggunakan hiou (kain adat) setiap menghadiri ataupun mengadakan suatu upacara adat.
Ada beberapa upacara adat maupun upacara hiburan pada masyarakat Simalungun yang menggunakan instrumen sarunei dalam ensambel gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu atau gonrang bolon, antara lain: Ondos Hosah[1], Rondang bintang[2], Mamongkot Rumah Bayu[3], Patuekkon[4], Bagah-bagah ni Sahalak[5], Mangiligi[6], marillah[7].
         Sebagian besar upacara masyarakat Simalungun tersebut, saat ini tidak lepas dari peranan agama Kristen sebagai agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat Simalungun. Seperti pada sebuah upacara pernikahan pada masyarakat Simalungun, dimana sebelum melaksanakan upacara adatnya, kedua mempelai terlebih dahulu memperoleh pemberkatan di gereja sesuai dengan peraturan gereja yang bersangkutan. Begitu juga dengan anak yang diberi nama setelah lahir, terlebih dahulu mendapatkan baptisan kudus di gereja yang bersangkutan, lalu kemudian dilaksanakan upacara adatnya.
Dalam penggunaannya, Sarunei digunakan dalam ensambel Gonrang Sipitu-pitu atau Gonrang Bolon dan Gonrang Sidua-dua. Ensambel gonrang sipitu-pitu terdiri dari satu buah sarunei, tujuh buah gendang satu sisi, gendang yang terbesar disebut jangat, kemudian empat buah gendang setelahnya disebut panongah dan sisanya dua buah gendang terkecil disebut hat dan ting (digabungkan menjadi hatting) sepasang gong besar, serta dua buah gong kecil yang disebut dengan Mongmongan. Ensambel Gonrang Sidua-dua terdiri dari dua buah gendang dua sisi yang dimainkan dengan cara  dipukul dengan stik untuk bagian sisi sebelah kanan, dan dengan tangan untuk bagian sebelah kiri, alat tabuh yang berukuran lebih besar dan bernada lebih rendah disebut jangat dan alat tabuh yang berukuran kecil dan bernada lebih tinggi disebut tikkah. Sedangkan untuk pembawa melodi Sarunei dan gong prinsipnya sama saja dengan ensambel Gonrang Sipitu-pitu atau Gonrang Bolon.
Menurut bapak Martuah Saragih Gonrang Sipitu-pitu biasa digunakan pada  upacara adat kematian pada masyarakat simalungun, seperti upacara adat namatei sayur matua, upacara ini dilakukan untuk menghormati seseorang yang meninggal dunia pada usia lanjut dan sudah memiliki anak cucu. Tetapi jika seseorang yang meninggal saat masih anak-anak, remaja ataupun dewasa tetapi belum menikah ensambel Gonrang Sipitu-pitu tersebut tidak dapat dimainkan[8].
Repertoar lagu yang biasa dimainkan pada acara adat namatei sayurmatua antaralain[9] :
1.      Sayur matua.
2.      Rambing-rambing ramos.
3.      Surung dayung.
4.      Tappe tuah.
5.      Gonrang huda huda.
6.      Parohot.

Di kota Pematangsiantar masih banyak kelompok musik tradisional Simalungun yang menggunakan instrumen sarunei dalam setiap pertunjukan yang mereka adakan, tidak hanya dalam pertunjukan untuk tujuan upacara adat saja, bahkan digunakan juga dalam beberapa pertunjukan yang bersifat hiburan.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, dan menurut informasi dengan informan, Terdapat berbagai upacara adat yang bisa kita temui pada masyarakat Simalungun di kota Pematangsiantar yang melibatkan kesenian yang menggunakan instrumen sarunei sebagai instrumen pembawa melodi.
Dalam upacara adat,  instrumen sarunei digunakan dalam acara :
·         Bagah-bagah ni Sahalak yaitu upacara acara yang dilaksanakan seseorang karena ada sesuatu niat untuk membuat pesta
·         Marhajabuan yaitu acara pemberkatan perkawinan
·         Mangiligi yaitu acara yang diadakan untuk menghormati seseorang yang meninggal dunia yang sudah tua, yang sudah memiliki cucu
·         Mangalo-alo tamu yaitu upacara untuk menyambut tamu dari luar daerah
·         Pesta Malas Ni Uhur yaitu acara kegembiraan yang diadakan suatu keluarga, yang menari bersama-sama
Beberapa hal di atas dapat merupakan gambaran mengenai eksistensi atau keberadaan instrumen Sarunei dalam ensambel Gonrang pada masyarakat Simalungun di kota Pematangsiantar saat ini.

  Fungsi Saruei pada Masyarakat Simalungun di kota Pematangsiantar
Dalam musik Simalungun, ada suatu keyakinan kuat bahwa bunyi-bunyi musik secara langsung dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia serta kejadian-kejadian sepanjang hidupnya.
Menurut penjelasan dari Bapak Martuah Saragih, di dalam ensambel Gonrang, sarunei memiliki peran utama yaitu sebagai pembawa melodi. Penerapan metode siklus pernapasan  yang tidak terputus, tanpa adanya perhentian atau istirahat dari awal hingga akhir sebuah lagu dalam memainkan sebuah repertoar lagu, menjadikan pemain sarunei sebagai pemimpin didalam didalam ensambel musik gonrang. Hal tersebut disebabkan sarunei adalah instrumen pembawa melodi pokok yang menjadi nada khas sebuah lagu dalam setiap gual, yang dibawakan dalam upacara-upacara pada masyarakat Simalungun.
Dalam fungsinya sarunei dapat digunakan pada ucara-ucara adat, selain itu sarunei juga dapat dimainkan secara pribadi untuk keperluan alat hiburan semata. Untuk keperluan hiburan sarunei yang digunakan adalah sarunei ponggol-pomggol[10], Sarunei pongol-ponggol biasa digunakan saat mengisi waktu luang ketika berada di rumah. Akan tetapi pada zaman ini penggunaan sarunei tergolong situasional. Maksudnya dalam acara hiburan terkadang bagian sigumbanginya sudah dipergunakan.
         Dalam menuliskan fungsi sarunei, maka penulis mengacu pada teori Alan P.Merriam, yaitu:
…use then refers  to the situation in which is employed in human action : function concern the reason for its employment and particulary the broader purpose which it serves….(Merriam 1964:210)

Dari kalimat di atas, dapat diartikan bahwa use (penggunaan) bahwa menitikberatkan pada masalah situasi atau cara yang bagaimana musik itu digunakan, sedangkan function (fungsi)  yang menitikberatkan pada alasan penggunaan atau menyangkut tujuan pemakaian musik, terutama maksud yang lebih luas, sampai sejauh mana musik itu mampu memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri.
Dalam penyajiannya sarunei Simalungun dapat dikategorikan kedalam beberapa fungsi, antaralain :

.1 Fungsi Pegungkapan Emosional
         Fungsi pengungkapan perasaan dapat dituangkan dengan berbagai cara sebagai pengungkapan emosional karena memainkan sarunei dapat dilakukan sebagai hiburan perorangan maupun perkelompok (sarunei dalam ensambel gonrang). Dalam memainkan sarunei, pemain sarunei biasanya melakukan penghayatan terhadap melodi-melodi yang dimainkannya. Bila memainkan melodi yang sedih maka pemain sarunei akan ikut bersedih, demikian juga dengan sebaliknya.
Selain hal yang disebut di atas salah satu faktor yang dianggap penting dalam menentukan reaksi suasana hati terhadap musik di kalangan masyarakat Simalungun adalah tempo musik yang dibawakan. Untuk menunjukkan suasana gembira, maka dipakai tempo sedang hingga tempo cepat. Sedangkan tempo lambat umumnya dipakai untuk yang berhubungan dengan hal-hal musibah, kekecewaan, kesedihan dan kerinduan hati. Banyaknya lagu-lagu sedih di daerah Simalungun dan digunakannya istilah inggou menggambarkan makna suasana hati dari lagu-lagu tersebut serta persepsi masyarakat Simalungun terhadap lagu-lagu tersebut. Pengungkapan perasaan mungkin paling mudah dan sederhana untuk difahami dari lirik yang dikandungnya.

.2   Fungsi Hiburan
Sarune juga dapat berfungsi sebagai sarana hiburan, dikarenakan sarunei biasa dimainkan bersamaan dalam ansambel gonrang sipitu-pitu maupun sidua-dua, yang juga berfungsi sebagai hiburan misalnya dalam pertunjukan Rondang Bittang yang biasanya digunakam muda-mudi sebagai kesempatan untuk mencari jodoh. Dalam acara ini sarunei dalam ensambelnya sering difungsikan untuk mengiringi tarian, nyanyian dan sebagai musik pengiring (back sound). Sarunei sebagai instrumen pembawa melodi dalam ensambel musik gonrang sebagai sarana hiburan juga dijumpai pada kegiatan huda-huda yang diadakan sebagai bagian dari upacara pemakaman. Ensambel musik gonrang dibawakan mengiringi tari jenaka huda-huda. Gual yang digunakan pada acara ini adalah gual huda-huda.  
     Penggunaan ensambel gonrang sebagai sarana hiburan juga dapat dilihat pada upacar-upacara lainnya seperti Manumbah (penyembahan tempat keramat maupun arwah para nenek moyang), pesta palaho/paroh boru (pesta pernikahan), pesta mangalo-alo tamuei (pesta penyambutan tamu atau undangan istimewa), mamongkot jabu (selamatan memasuki rumah baru).
 Dengan penjelasan dari Hal tersebut dapat dilihat bahwa salah satu fungsi musik dikalangan masyarakat Simalungun adalah menghibur dengan cara mendengarkan dan berpartisipasi secara langsung dan sebagai prasyarat untuk acara tari-tarian.



.3 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan
         Ensamble musik gonrang merupakan bagian dari kebudayaan Simalungun yang sampai sekarang ini tetap penggunaannya pada setiap upacara dan terpelihara di tengah-tengah masyarakat pemiliknya yang ada di kota Pematangsiantar.
         Dengan mengikutsertakan sarunei ini dalam setiap upacara, misalnya: upacara pernikahan, upacara kematian dan seni pertunjukkan, akan menjadikannya tetap terpelihara dan berkesinambungan. Hal itu dianggap sangat penting oleh masyarakatnya, karena dengan mempertahankan sarunei sebagai instrumen pokok pembawa melodi dalam ensambel musik gonrang pada setiap upacara dengan sendirinya telah melaksanakan apa yang diwariskan oleh leluhurnya.

.4 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat
         Masyarakat Simalungun yang terikat dalam satu kesatuan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyak perkumpula-perkumpulan masyarakat Simalungun di Kota Pematangsiantar seperti perkumpulan marga Damanik sekota Pematangsiantar, Perkumpulan marga Saragih sekota Pematangsiantar, dll. Komunitas masyrakat Simalungun yang hidup dan berkembang di kota Pematangsiantar tersebut tetap menggunakan Ensambel musik Gonrang dan instrumen sarunei dalam setiap upacara-upacara adat baik untuk mengiringi upacara pernikahan maupun upacara kematian, bahkan untuk mengiringi peresmian suatu lembaga ataupun hari besar nasional, pada masyarakat Simalungun di kota Pematangsiantar. Hal ini menunjukkan bahwa adanya suatu komunitas Simalungun yang dapat diketahui melalui kesenian Simalungun yang hidup dan berkembang dalam komunitasnya.     
5        Fungsi Reaksi Jasmani dan Komunikasi
Rondang Bittang merupakan acara tahunan yang diadakan suatu desa karena mendapatkan panen yang baik. Di dalam acara ini banyak bentuk-bentuk kesenian Simalungun yang ditampilkan, seperti Tor-tor sombah yang disebut dengan tarian agung atau tarian klasik yang biasa dipersembahkan untuk menyambut orang-orang yang dihormati jumlah penarinya 6 orang, Huda-huda atau Toping-toping ( tarian Simalungun yang memakai topeng dan paruh burung enggang) diiringi Gual Huda-Huga jumlah penarinya ada 3 orang, Taur-taur (Duaet tradisional Simalungun) menggambarkan cinta yang berkomunikasi melalui lagu.
Penggunaan sarunei dalam ensambel gonrang sebagai musik pengiring tari-tarian tersebut dapat memberikan rangsangan reaksi jasmani pada setiap penonton.
Bunyi-bunyian Sarunei tersebut akan menjadi sumber komunikasi bagi masyarakat baik yang muda maupun yang tua di sekitar bahwa ada suatu acara. Sehingga para penonton yang biasanya mayoritas muda-mudi berdatangan ketempat tersebut untuk menonton, melihat, menari dan menggunakan kesempatan tersebut untuk saling berkomunikasi, berinteraksi dan dapat dijadikan sebagai ajang mencari jodoh bagi kaum muda-mudi.





[1] Ondos hosah adalah upacara yang dilakukan suatu keluarga atau suatu desa agar terhindar dari mara bahaya.
[2] Rondang bittang adalaha : Acara yang dilakukan suatu desa karena mendapatkan panen yang baik.
[3] Cara memasuki rumah baru agar mendapat rejeki dan jauh dari marabahaya.
[4] Acara Untuk membuat nama seseorang yang biasanya dibawa ke air untuk di mandikan.
[5] Acara yang dilaksanakan karena ada suatu niat untuk membuat pesta
[6] Upacara yang dilakukan untuk menghormati seseorang yang sudah meninggal yang sudah mempunyai cucu
[7] Acara muda-mudi menari bersama.
[8] Hasil wawancara penulis dengan bapak Martuah Saragih 28 Maret 2011.
[9] Hasil wawancara penulis dengan bapak Martuah Saragih 28 Maret 2011.
[10] Sarunei ponggol-ponggol adalah sarunei yang hanya menggunakan bagian baluh, bagian sigumbanginya  tidak dipasang

SUMBER:
Situmeang,Henry. 2011.“Kajian Organologis Sarunei Simalungun Buatan Bapak Martuah Saragih di Kecamatan Siantar Utara Kota Pematang Siantar” Skripsi Sarjana Etnomusikologi FIB. USU, Tidak Diterbitkan

No comments:

Post a Comment